Fakta Korupsi

306 16 0
                                    

"Mungkin, perpisahan merupakan hal yang paling dibenci oleh sebagian besar orang. Namun, ada kalanya perpisahan membuka jalan terbaik bagi masing-masing pihak yang berpisah. Walau sesungguhnya, cepat atau lambat, perpisahan secara alamiah pun akan terjadi dengan sendirinya."

...

Hari demi hari berlalu sebagaimana mestinya. Kini, kami sudah kembali di kampung halaman. Meninggalkan Jakarta dengan tenang. Sebab, Mbak Kinanti, mama, dan papaku sudah mulai mengikhlaskan musibah yang menimpa kakakku.

Ya. Mbak Kinanti dan Mas Surya memutuskan untuk bercerai. Lagi pula, siapa, sih, perempuan yang mau disakiti terus menerus? Dikhianati. Bahkan dimadu?

Tidak. Aku sendiri bisa merasakan luka yang membakar dan menusuk di benak kakakku. Sulit. Namun, syukurlah, kakakku mulai beradaptasi dengan hidupnya yang sekarang.

Usai bercerai, kakakku tinggal di rumah orang tua. Dan mulai sekarang, kami menjadi sering berkirim pesan, berbagi kabar, dan bertelepon.

***

Pagi ini, aku sedang memasak di dapur kecil sederhanaku. Menu pagi ini juga tak kalah sederhana. Aku tengah memasak sayur lompong.

Kalian tahu apa itu sayur lompong?

Semenjak berada di kampung, aku mengetahui banyak sekali tanaman yang bisa kami olah menjadi menu yang sangat lezat.

Suamiku yang memetiknya dari kebun belakang rumah. Kebun kami sudah seperti surga pangan bagi kehidupan kami. Sebab, dari sanalah kami bisa mengolah berbagai macam jenis sayuran.

Ada sayur daun singkong, daun bayam, daun so, daun katuk, daun kelor, lompong, dan lain-lain. Juga berbagai macam bumbu seperti lengkuas, jahe, kunyit, serai, salam, dan lain-lain. Semua itu suamiku yang menanam.

Alhamdulillah, kami sangat bersyukur. Rupanya, di alam ini, banyak sekali tersedia bahan masakan sehat yang bisa kami olah.

Saat aku tengah asyik memasak sayur lompong, tiba-tiba saja aku dikagetkan oleh suara panggilan suamiku.

"Santi! Santi!"

"Astaghfirullahaladzim, ada apa ini?" gumamku dengan jantung yang berdebar. Khawatir kalau terjadi sesuatu yang tidak-tidak.

Segera kumatikan kompor, lalu menuju sumber suara Mas Yudis. Dan ketika aku baru keluar dari dapur, Mas Yudis berjalan cepat, sehingga hampir saja menabrakku.

"Mas!"

"Santi," panggilnya dengan mata tengah membendung air mata.

"Ada apa, Mas?" tanyaku semakin khawatir.

Namun, tiba-tiba saja Mas Yudis memelukku erat sekali. Aku hampir kesulitan bernapas.

"Mas?" Aku menepuk-nepuk punggungnya, meminta dilepaskan.

Ia pun melepaskan pelukannya terhadapku. "Santi, maafkan aku," katanya tak enak hati membuatku sesak napas.

"Iya, Mas. Tidak apa-apa. Tapi ada apa? Kamu kenapa?"

Belum menjelaskan, suamiku terisak. Ia menunjukkan layar ponsel yang tengah digenggamnya itu padaku.

Aku membaca sebuah pesan dari seorang pengacara yang pernah menangani kasus dugaan korupsi suamiku.

[Pak Yudistira, selamat! Kabar baik dan nasib baik berpihak kepada Anda.]

Aku membaca rentetan pesan tersebut dari atas ke bawah dengan jantung yang berdebar-debar. Hingga kemudian, air mataku jatuh juga.

Rumah Idaman (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang