Digoda Pak Kepsek

675 18 0
                                    

Pukul tujuh lebih seperempat aku mengantarkan Savira dan Savina ke sekolah.

Sebenarnya banyak siswa-siswi yang juga berjalan kaki. Hanya saja, aku belum tega membiarkan mereka berangkat sendiri. Yah, maklumlah namanya juga seorang ibu. Terlalu banyak yang dicemaskan. Tapi nanti kalau mereka sudah terbiasa, maka akan kuperbolehkan untuk berangkat sendiri.

Tidak lama, kami pun sampai di sekolah. Tak lupa aku berpesan agar mereka jangan jajan sembarangan. Perut Savira sangat sensitif terhadap jajanan-jajanan yang terlalu banyak mengandung penyedap rasa. Sedangkan Savina sering diare kalau makan jajanan yang kurang higienis.

Itulah mengapa, ketika bersekolah di kota, aku selalu memberi mereka bekal makanan. Tapi hari ini, berhubung aku belum sempat memasak nasi dan lauk-pauk, jadi aku tidak memberi mereka bekal.

Mereka mencium punggung tanganku bergantian. Kemudian masuk ke kelas masing-masing.

Saat aku hendak pulang, tiba-tiba saja aku berpapasan dengan Pak Bambang—kepala sekolah tersebut. Lelaki bertubuh tinggi-besar itu baru sampai sepertinya.

"Eh, Bu Santi, apa kabar?" Dia tersenyum ramah padaku seraya mengulurkan tangan kanannya.

Aku pun menyambut ramah uluran tangannya. "Alhamdulillah, baik, Pak."

"Eh, kok, panggil pak sih? Panggil mas saja, ya?"

Dia meremas jemari tanganku seperti waktu pertama kali berkenalan. Membuatku semakin risih.

"Maaf, Pak, tanganku."

"Tanganmu lembut sekali. Seperti tangan seorang tuan putri," katanya seraya tersenyum nakal, kemudian melepaskan tanganku.

Dipandanginya tubuhku dari atas ke bawah yang hanya mengenakan daster. "Pakai daster saja cantik," godanya.

Ingin rasanya kutampar wajah genitnya itu. Andai saja dia bukan kepala sekolah di tempat ini. Bukannya tidak berani, tetapi aku hanya mengkhawatirkan kedua putriku yang tengah menimba ilmu di sekolah ini.

"Ya sudah, aku permisi, Pak." Aku buru-buru beranjak. Akan tetapi, tiba-tiba ....

"Bu Santi?"

Aku pun menghentikan langkah. "Iya, Pak." Aku berbalik.

"Uang pendaftarannya belum Ibu lunasi, ya?" tanyanya.

"Oh, iya, maaf. Masih kurang, Pak. Tapi akan segera kulunasi," jawabku.

"Tidak apa-apa. Santai saja, Bu Santi," katanya seraya mengedipkan mata.

Aku buru-buru pergi. Rasanya menyebalkan sekali melihat tatapan mata kepala sekolah itu.

Di perjalanan menuju pulang, tiba-tiba aku bertemu dengan Mas Gunawan. Dia berboncengan menggunakan sepeda motor bersama seorang wanita yang kuperkirakan adalah istrinya.

Dia menghentikan laju motornya dan menyapaku. "Pagi, Mbak Santi."

"Eh, Mas Gunawan. Pagi juga," balasku.

"Dari mana, Mbak Santi?" tanyanya.

"Habis nganter anak ke sekolah," jawabku.

"Eh, kenalin, Mbak. Ini istriku—Farida." Gunawan memperkenalkan.

Aku pun berkenalan dengan wanita berhijab, dengan postur tubuh sedang, berkulit putih, dan tampak ayu itu. "Santi," kataku seraya mengulurkan tangan.

"Suamiku sudah banyak bercerita tentang kamu dan suami kamu," katanya. "Kapan main ke rumahku?"

"Oh, iya, kapan-kapan," jawabku tersenyum. Wanita itu terlihat sangat ramah dan baik. "Mbak Farida dulu yang main ke rumahku, deh."

"Besok, besok, Insyaallah," jawabnya.

Rumah Idaman (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang