Upacara Syukuran dan Selamatan

347 16 0
                                    

"Manusia seringkali menginginkan sesuatu yang lebih, ketimbang menjaga apa yang sudah ada dan berhasil dimiliki. Tidak tahu bahwa kadang-kadang, apa yang sudah ada pun sudah cukup."

...

Sama halnya dengan kami. Setelah semuanya kembali, nama baik suamiku, harta-benda, pekerjaan. Dan setelah kami renungkan dan pikirkan berulangkali. Kami pun telah memutuskan.

Bahwa kami akan tetap tinggal di kampung ini. Kampung yang jauh dari padatnya kota Jakarta. Kehidupan yang agak berbeda dari biasanya di kota Jakarta. Ya. Kami akan melanjutkan kehidupan sehari-hari kami di sini.

Ini bukanlah keputusan diriku dan suamiku saja. Bahkan, kedua putriku pun demikian. Kami bersyukur dan bahagia hidup sederhana di sini. Tuhan sudah menyelipkan kedamaian dan ketenangan di sini. Di rumah sederhana ini.

***

Beberapa bulan kemudian.

"Ayo, Bu Tinah! Cuci berasnya lagi. Ini masih kurang untuk upacara selamatan!" perintah Bu Tejo.

"Aduh, ngatur? Ngatur terus?" kesal Bu Tinah. "Ikut bantuin ngapain, kek?"

"Lah ini aku lagi bantuin ngatur. Mbak Santi, kan, belum tahu apa saja keperluan yang dibutuhkan buat upacara selamatan. Nah, ini makanya pawangnya lagi mandorin pekerjaan kalian," ujar Bu Tejo seraya berkacak pinggang, yang kemudian mendapatkan sorakan dari para emak-emak.

"Sama itu, Tun! Irisan ayamnya jangan kecil-kecil amat, ya? Agak besar-besar juga enggak apa-apa. Lagian, stok ayam di kandang Pak Surip masih banyak!"

Pak Surip adalah juragan alias penjual dan peternak ayam yang terkenal di kampung ini.

"Halah! Itu, sih, alasan Bu Tejo aja! Bilang aja kalau Bu Tejo kepingin dapet berkat ayam kenduri yang besar-besar. Bu Tejo, kan, sukanya sama yang besar-besar!" timpal Atun bercanda.

Berkat kenduri alias berkat kenduren itu adalah nasi, lauk, dan sebagainya yang biasanya sengaja dibagi-bagikan kepada orang-orang yang hadir dalam upacara selamatan.

"Tahu aja kamu, Tun. Iya, punyanya Pak Tejo juga besar!" balas Bu Tejo bercanda.

"Apaan yang besar, Bu Tejo?" tanya Mbak Ani.

"Anu. Duitnya," kata Bu Tejo tertawa.

Aku dan yang lainnya pun menjadi ikut tertawa. Gurauan-gurauan mereka memang selalu berhasil mengocok perut. Meski obrolan mereka pun kadang-kadang tidak bagus untuk didengar. Seperti saat mereka asyik mengghibah.

"Eh, ngomong-ngomong, itu yang ada di depan rumah Wati siapa, ya? Laki-laki. Ganteng." Bu Tuti melongok dari kaca jendela rumahku.

"Serius?" Bu Tejo yang paling semangat pun beranjak dari duduknya. Kemudian ikut mengintip.

Dan disusul emak-emak yang lainnya.

"Widih? Pake ngasih kado segala!" ujar Bu Tejo terkejut. "Walah! Si Wati senyam-senyum genit!"

"Eh, iya, bener!" sahut Bu Tinah.

"Idih! Gatel banget, tuh, si Wati! Pasti ada apa-apanya sama si berondong!" komentar Bu Tejo. "Eh, tapi ... kayaknya itu adalah laki-laki yang pernah kulihat di tepi jalan waktu itu bersama si Wati, loh!"

"Ih, serius?" Tuti dan yang lainnya menyahut bersamaan.

Aku yang penasaran pun pada akhirnya turut mengintip. Sesaat kemudian aku tertawa, sehingga menyita perhatian orang-orang yang tengah berada di rumahku.

"Ada apa, Mbak Santi? Kok, malah tertawa?" tanya Bu Tejo heran.

Setelah tawaku berhenti, aku pun menjelaskan, "Itu, tuh, jasa pengantar paket dari JXE. Mungkin Mbak Wati itu pesan barang atau apa dari online shop. Jadi, ya, yang nganter memang tukang JXE-nya."

Rumah Idaman (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang