Petuah Papa

261 16 0
                                    

"Kasih sayang seorang suami terhadap istrinya, mungkin bisa pudar seiiring berjalannya waktu. Namun, kasih sayang seorang ibu terhadap putrinya, takkan pernah pudar sepanjang masa."

...

Sejak kejadian yang menimpa Mbak Kinanti, mama menjadi murung dan menyendiri di kamarnya.

Aku tahu bagaimana perasaan mama. Hancur. Dia sangat kecewa. Dan sudah pasti hatinya turut terluka. Namun, apa boleh buat? Sudah skenario Tuhan seperti ini.

Aku mengetuk pintu kamar mama. Suara papa menyahut, memerintah masuk. Aku pun masuk.

Kulihat mama tengah duduk bersandar pada bantal di kepala ranjang. Sementara papa bersikeras membujuknya untuk makan. Akan tetapi, mama kekeuh menggeleng. Dan papa berupaya membujuknya lagi, tetapi tetap saja mama menolak.

Aku menghampirinya. Menatapnya dengan penuh iba. "Ma," panggilku.

Mama menoleh, wajahnya sangat pucat, bahkan lebih pucat dari wajah Mbak Kinanti sekarang. Kedua matanya bersorot nanar. Aku pun duduk di tepi ranjang, di sebelah papa.

"Santi, coba kamu yang membujuk Mamamu untuk makan. Sejak pagi, Mamamu belum makan apa-apa," kata papa seraya menyodorkan piring berisi nasi dan lauk di tangannya.

Aku berganti menatap papa. Wajahnya tak kalah sedih dan kusut. Namun, setidaknya aku bersyukur karena sakit papa tidak kambuh gara-gara kejadian ini. Papa pasti bersikeras untuk tetap tegar demi mama, Mbak Kinanti, dan anak-anaknya.

Tanganku mengambil alih piring tersebut. Dan aku mulai membujuk mama. "Ma, makan dulu, ya?"

Mama menggeleng pelan.

"Sedikit saja, ya, Ma?" Aku menyodorkan sendok yang sudah kuisi nasi dan lauk.

Dan mama tetap menggeleng.

Kutarik kembali sendok tersebut, meletakkannya kembali di atas piring. Kuletakkan piring itu di atas nakas. Setelah itu, aku mendekati mama. Meraih jemari tangannya. "Ma, Santi mengerti perasaan Mama saat ini. Tapi, kami semua juga sedih, kok, Ma. Hanya saja, kami tidak ingin menambah kesedihan di rumah ini."

Mama menatapku bergeming. Dan aku kembali berkata dengan lembut. "Sudah cukup luka di hati Mbak Kinanti. Itu pun, kita harus bersama-sama memberikan support kepada Mbak Kinanti. Dan Mama ... Mama juga harus tetap semangat. Bagaimanapun, ini sudah takdir Tuhan. Kita harus tetap ikhlas, Ma."

Mama kembali terisak mendengar perkataanku. Aku pun memeluknya erat. "Ma, seorang penulis novel idolaku pernah menuliskan sebuah quotes pada bukunya. Bahwa kasih sayang seorang suami terhadap istrinya, mungkin bisa pudar seiiring berjalannya waktu. Namun, kasih sayang seorang ibu kepada putrinya, takkan pernah pudar sepanjang masa. Mama ingat? Itu quotes Nonashitha." Aku mengusap pelan, punggung mama. "Ma, bagaimanapun yang terjadi kemudian pada rumah tangga Mbak Kinanti, setidaknya, kita sekeluarga selalu mensuportnya. Kita akan selalu menyayangi Mbak Kinanti. Sehingga kepedihan dan luka di hati Mbak Kinanti berangsur pulih. Dan Mama ... jangan pernah terluka lagi, ya?"

Mama hanya terisak di pelukanku, dan aku membiarkannya menangis, mengeluarkan segala kepiluan.

***

Keesokan paginya, aku bangun lebih awal, melaksanakan salat subuh berjamaah bersama suami dan anak-anak, seperti biasa.

Dan usai menunaikan salat, aku langsung menuju dapur. Di sana ada Mbok Sumi yang tengah mencuci piring di wastafel.

"Pagi, Mbok Sumi," sapaku, tersenyum.

"Pagi, Mbak Santi," balasnya tersenyum.

Aku berjalan menuju kulkas, mengambil beberapa sayuran, daging, dan beberapa bahan masakan lainnya dari sana.

Rumah Idaman (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang