Setia adalah Komitmen

236 15 0
                                    

Hari ini, aku hendak pergi ke sekolah bersama kedua putriku. Kemarin, aku sudah izin kepada Mas Yudis bahwa uang yang masih tersisa mau kami gunakan untuk melunasi biaya administrasi masuk sekolah Savina dan Savira. Mas Yudis pun setuju.

Sesampainya di sekolah, Savina dan Savira langsung pamit padaku untuk masuk ke kelas. Sementara aku menuju ruang TU.

Sialnya, aku harus berpapasan dengan seorang lelaki yang sangat menyebalkan. Apa boleh buat, aku harus tetap menjaga sikap. Ya, walaupun lelaki itu tidak bisa menjaga sikapnya sendiri terhadapku.

"Pagi, Bu Santi," sapanya tersenyum lebar begitu melihatku. "Pucuk dicinta ulam pun tiba," ujarnya.

"Pagi, Pak. Maaf, saya buru-buru. Permisi ...."

Aku hendak tak menghiraukannya. Akan tetapi, dia malah bertanya, "Bu Santi mau ke mana?"

"Saya mau menemui Pak Handoko. Mau melunasi biaya administrasi sekolah kedua putri saya, Pak," jawabku.

"Pak Handoko izin hari ini. Jadi, Bu Santi bisa membayarnya langsung kepada saya saja."

Apa?! Ah, kenapa harus berhadapan lagi dengan orang ini, sih?

"Mari ikut ke ruangan saya, Bu Santi," ajaknya.

Apa boleh buat, aku pun mengikuti ke mana kepala sekolah itu melangkah. Hingga kami pun sampai di sebuah ruangan bertuliskan 'Ruang Kepala Sekolah'.

"Silakan masuk dan silakan duduk, Bu Santi," katanya mempersilakan.

Aku bergerak canggung menuju sebuah kursi, berhadapan dengan Pak Bambang. Kemudian aku pun duduk.

"Jadi, apa maksud kedatangan Bu Santi menemui saya?" tanyanya seraya mengedipkan sebelah matanya.

"Maaf, Pak. Saya ke sini bukan untuk menemui Anda, tetapi untuk melunasi seluruh kekurangan biaya administrasi sekolah kedua putri saya!" tegasku tak basa-basi.

Lelaki itu tergelak, dan menatapku dengan nakal. Aku semakin risih dan sebal dibuatnya.

***

Sepuluh menit kemudian, aku keluar dari ruangan kepala sekolah genit itu. Agak kesal aku dibuatnya. Akan tetapi, syukurlah, urusan administrasi pendaftaran sekolah putriku sudah lunas. Aku pun buru-buru pulang ke rumah.

Di perjalanan pulang, aku terngiang-ngiang perkataan Pak Bambang.

"Bu Santi, saya suka sama kamu. Bu Santi mau enggak jadi pacar saya. Minimal, jadi selingkuhan saya dulu. Kapan-kapan ... baru akan saya nikahi."

Jika kamu seorang perempuan yang sudah berstatus sebagai seorang istri, lalu mendapatkan bujukan atau godaan semacam itu, kira-kira apa jawaban kalian?

"Astaghfirullahaladzim, Pak Kepala! Bagaimana mungkin Anda berpikir untuk mengajak saya seperti itu? Saya ini adalah istri orang! Dan saya bukan perempuan murahan! Saya mencintai suami saya dengan berbahagia dan berbangga hati! Bagi saya, setia adalah komitmen! Jadi, tolong jaga sikap dan perkataan Anda itu! Sikap Anda selain tidak mencerminkan kewibawaan seorang lelaki, juga tidak mencerminkan kewibawaan seorang kepala sekolah!" Aku berdiri dan meletakkan sejumlah uang untuk melunasi administrasi pendaftaran sekolah. "Saya permisi! Dan jangan pernah lagi merayu saya! Seorang lelaki yang hebat adalah laki-laki yang mampu menjaga kesetiaan, hatinya, tutur kata, tingkah laku, dan pandangannya! Saya harap Anda mengerti! Mohon maaf apabila perkataan saya menyinggung. Wassalamu'alaikum."

Begitu jawabanku dengan penuh amarah yang membara. Aku paling tidak suka disepelekan sebagai perempuan. Mungkin dia pikir aku begitu murahan, atau kesetiaanku mudah digoncangkan. Tidak. Maaf, aku sama sekali tidak tertarik untuk berselingkuh!

Rumah Idaman (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang