Nyinyiran Tetangga

300 19 0
                                    

Pagi kembali menyapa dengan burung-burung yang berkicau riang—menyemangati setiap insan agar kembali beraktivitas.

"Sayur ...? Sayur ...?"

Suara Pak Jarwo memeriahkan pagi, ketika aku baru selesai mencuci pakaian secara manual di sumur.

"Santi, Pak Jarwo, tuh!" seru Mas Yudis.

"Iya, Mas."

Aku pun beranjak menuju rumah. Mas Yudis memberiku uang untuk berbelanja sayuran. Setelah itu, aku pun keluar dan menuju gerobak sayur Pak Jarwo.

Kurasakan ada yang berbeda dari emak-emak berdaster itu ketika aku datang. Mereka tampak berbisik-bisik dengan gelagat yang aneh memperhatikanku.

"Pagi, Bu, Ibu," sapaku.

"Pagi," jawab mereka.

Segera kupilih sayuran segar, bumbu dapur, dan bahan untuk memasak lainnya.

"Mbak Santi, kemarin dikunjungi Pak Kepsek, ya?" tanya Bu Tejo—yang tumben sekali berbelanja di sini. Padahal biasanya dia menunggu Pak Jarwo datang ke halaman rumahnya.

"Oh, itu, kemarin Pak Kepala nganter kedua putriku pulang," jawabku.

"Wah, tumben sekali, ya? Ngomong-ngomong, Mbak Santi harus hati-hati, loh? Kedekatan yang tiba-tiba itu biasanya memunculkan gajah di balik batu," katanya.

"Udang di balik batu, Jeng." Tuti membenarkan.

"Terima kasih atas nasihatnya, ya, Bu Tejo," timpalku tersenyum.

"Kalau aku, mah, enggak berani nerima tamu yang bukan muhrim tanpa ada suami," sahut Bu Tinah.

"Iya, betul. Takut dikira macem-macem," sambung Ani.

"Ya biasalah, kalau orang yang sudah merasa dirinya cantik, mikirnya laku banget, gitu kali, ya? Akhirnya kepedean, deh!"

Aku tidak mengerti dengan perkataan Bu Tejo—apakah dia sedang menyindirku? Tapi dia buru-buru menyikut lenganku seraya berbisik, "Aku lagi nyindir si Wati, loh? Mbak Santi jangan kebawa baper!"

Kuperhatikan Wati yang hanya sibuk memilih sayuran itu, tak sedikitpun memedulikan perkataan Bu Tejo. Aku menjadi bimbang, Bu Tejo ini sedang menyindirku atau Wati, sih? Atau kami berdua?

"Nih, ya, Bu-Ibu yang budiman! Kita ini sebagai perempuan harus punya harga diri! Jangan gara-gara kesulitan ekonomi, terus jadi nyeleweng alias ngendel! Nauzubillah mindzalik!" Bu Tejo masih melanjutkan nyinyirannya.

Ngendel, kalau di kampungku ini artinya selingkuh.

"Kalian ini wajib bersyukur karena ada aku di kampung ini, yang rajin memberikan petuah-petuah bijak! Sebagai Bu RT yang rajin, baik hati, tidak sombong, dan berbudi luhur, aku tidak mau warga negaraku ini memiliki attitude yang buruk, loh? Coba saja perhatikan ibu RT kampung sebelah, udah pendiem, enggak bisa mengayomi masyarakat lagi. Tiba-tiba ketahuan ngendel! Makanya, kita harus hati-hati sama orang yang dari luarnya terlihat diem. Toh, bener kata peribahasa, diam-diam menenggelamkan!"

"Diam-diam menghanyutkan, Bu Tejo! Hadeh!" Tuti kembali membenarkan.

Beberapa orang turut menyetujui perkataan Bu Tejo. Tapi beberapa ada juga yang tampak diam saja—tak mau memberikan komentar.

"Di zaman yang semakin modern ini, banyak sekali perempuan-perempuan jahiliah bermunculan!" tambah Bu Tejo.

Saat mereka tengah heboh, tiba-tiba Rina—istri Pak Parjo—datang setengah berlari.

"Pengumuman, pengumuman!" Dengan girang dan ngos-ngosan, perempuan gemuk yang memakai pakaian olahraga itu berseru. "Minggu besok, aku mau adain senam zumba massal, loh? Kalian mau ikut, enggak? Murah meriah! Hanya lima ribu rupiah saja! Bagi yang mau ikut, Minggu pagi datang ke halaman rumah aku, ya?"

"Wah, asyik, tuh! Biar body kita semlohai!" ujar Ani.

"Masak lima ribu, sih? Kemahalan itu, Rin?" sahut Tuti. "Dua ribu sajalah."

"Yaelah, Tut. Lima ribu itu udah murah, keles? Tenang saja nanti kukasih air mineral gratis! Itu bonusnya!" kata perempuan berkulit putih dan berbadan besar itu.

"Enggak sekalian dibonusin makan, Rin?" sahut Bu Tejo.

"Ya ampyun Bu Rete! Entar rugi dong, aku! Gimana, sih?"

"Bu Rina, mau belanja sayuran, enggak?" tanya Pak Jarwo.

"Enggak, ah. Masih banyak stok sayuran di kulkas," jawab Rina. "Aku ke sini cuma mau ajak Ibu-Ibu yang mau ikut senam zumba. Biar body kita aduhae!"

"Rin, Rin, body kamu aja macam gentong rusak begitu, pakai acara promosi yang berlebihan," cibir Bu Tejo.

"Eh, Bu Rete! Kalau ngomong mulutnya, ya, ampun? Jadi pengen nampol!" kesal Rina. "Ini, nih, lagi proses pembentukan body yang ideal, tahu? Lagi pula, kita olahraga itu jangan mikir langsing dulu. Mikir, tuh, supaya sehat dan bugar, gitu!"

"Iya, betul juga," ujar Ani.

"Gimana, nih? Pada mau ikut, enggak? Ikut, dong, ya? Biar rame!" ajak Rina.

"Hm, gimana, ya? Aku ngikut aja, deh," timpal Ani lagi.

"Huh, dasar kamu orang tidak punya pendirian yang tetap! Seperti air di atas daun jati!" cibir Bu Tejo. "Sukanya ikut-ikutan!"

"Air di atas daun kemangi, Jeng? Gimana, sih, kok peribahasamu salah mulu!" Tuti kembali membenarkan.

"Salah lagi!" Atun menyikut lengan Tuti. "Yang bener, tuh, air di atas daun singkong!"

Aku tertawa melihat tingkah mereka. Padahal yang benar itu peribahasanya, 'Air di atas daun talas'. Ada-ada saja mereka.

"Eh, Mbak Santi jangan lupa ikut, ya? Biar bisa gaul sama kita-kita," kata Rina padaku.

"Insyaallah, Mbak Rina. Aku izin sama suami dulu," jawabku.

"Minggu pagi, pukul sepuluh saja, ya? Pastikan memakai pakaian yang cocok untuk olahraga! Pokoknya yang enggak ikut senam, enggak bakalan aku kasih air mineral!"

"Iya, iya!" jawab mereka hampir bersamaan.

"Lagian, bonus air mineral doang. Apa menariknya?" cibir Bu Tejo lirih, tetapi aku mendengarnya.

Kupikir, setelah mempromosikan senam zumbanya, Rina akan langsung pergi. Rupanya dia tengah mengambil beberapa ikat sayuran dan beberapa bungkus daging dari gerobak Pak Jarwo.

"Katanya di kulkas masih banyak bahan masakan?" Tuti menyikut lengan Rina.

Rina pun tersenyum ke arah Pak Jarwo. "Sementara belanja di bayar di belakang, ya, Pak Jarwo."

"Bilang saja mau ngutang, Bu Rina," timpal Pak Jarwo.

Rina nyengir. "Itu bahasa kasarnya, Pak. Bahasa kerennya, belanja di bayar di belakang."

"Huh, ngutang lagi, ngutang lagi," keluh Jarwo.

"Pak Jarwo tenang saja. Minggu depan, habis acara senam zumba, pasti bakal kubayar!"

"Hm, bau-bau bisnis, nih? Pakai kedok acara senam zumba segala." Bu Tejo kembali mencibir.

"Eh, jangan begitu, loh, Bu Rete! Jaman sekarang ini tidak ada yang gratis! Kecuali bantuan dari pemerintah!" balas Rina.

"Eh, ngomong-ngomong bantuan PKH sudah cair, belum?" tanya Tinah.

"Eh, iya, tuh. Aku juga lagi nungguin," timpal yang lainnya antusias.

Aku tersenyum geli melihat tingkah dan obrolan mereka. Meskipun agak aneh, karena hampir setengah jam mereka menghabiskan waktu mengelilingi gerobak sayur Pak Jarwo. Yang lima menitnya untuk berbelanja dan sisanya untuk bergosip.

Begitulah uniknya kehidupan di kampung. Kalau kita tidak bisa beradaptasi dengan baik, maka kita akan sulit bergaul dengan mereka.

Rumah Idaman (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang