Kuletakkan sebuah kasur lipat kecil di kamar yang akan ditempati kedua putriku. Kasur yang muat untuk alas tidur dua peri kecilku. Kasur itu kami bawa dari kota karena ringan dan praktis untuk dibawa. Sedangkan satu buah kasur lagi ada di kamar lainnya—sebagai alas tidurku dan Mas Yudis.
Setelah selesai menata tempat tidur, Savina dan Savira pun berbaring. Aku menemani mereka.
"Bunda, aku tidak akan bisa tidur. Rasanya gerah sekali," rengek Vira bergerak tak nyaman dengan tangannya mengibas-ngibas ke tubuh.
"Iya, Bunda. Mana kasurnya kecil banget! Aku tidak akan bisa tidur kalau begini." Vina yang berbaring di sebelah adiknya turut mengimbuhi.
"Eh, Sayang. Kalian memang tidak akan bisa tidur kalau terus mengeluh." Aku berusaha menasihati.
"Gerah, Bun. Kamarnya jelek dan sempit!"
"Savira Sayang, kita tidak boleh berkata seperti itu. Kita harus selalu bersyukur, karena Allah SWT masih memberikan rumah kecil ini untuk kita tinggali," kataku dengan lembut seraya membelai puncak kepalanya. "Coba bayangkan kalau sampai Tuhan tidak memberikan rumah ini. Lalu, kita mau tidur di mana?"
Kedua putriku terdiam. Sepertinya tengah mencerna perkataanku.
"Dengar, kita tidak boleh memiliki sikap kufur nikmat terhadap Allah SWT. Mengerti?" lanjutku.
"Kufur nikmat itu apa, Bunda?" tanya si bungsu dengan polos.
Aku tersenyum. "Kufur nikmat itu adalah sikap orang yang tidak pandai bersyukur dan tidak sadar bahwa sudah terlalu banyak kenikmatan yang Allah SWT berikan kepada diri kita."
"Lalu, apakah kita berdosa kalau sampai mengkufuri nikmat Allah?" tanya si bungsu lagi. Ia memang suka bertanya akan hal-hal yang belum pernah diketahui.
"Tentu saja, Sayang. Orang yang kufur nikmat selain berdosa juga akan mendapat teguran dari Allah SWT. Misalnya, nikmatnya tidak akan ditambah, atau bahkan dicabut oleh Allah. Mendapatkan dosa atau bahkan laknat dari Allah. Serta hidupnya tidak akan tenang. Itu karena dirinya selalu merasa kekurangan," jelasku pelan-pelan agar bisa dicerna dengan baik oleh kedua putriku. "Kalian mau seperti itu?" tanyaku seraya memandang mereka bergantian.
Kedua putriku menggeleng cepat. Aku tersenyum bahagia dengan sikap patuh mereka.
"Ayo, sekarang kalian lafalkan doa sebelum tidur, agar tidur kalian nyaman dan mendapatkan perlindungan dari Allah sewaktu tidur." Aku tak lupa mengingatkan.
Mereka pun sama-sama melafalkan doa sebelum tidur. "Bismika allahumma ahya wabismika amut."
Kuambil sebuah buku tulis dari tas sekolah Savina, kemudian menggunakannya untuk mengipasi kedua peri kecilku. Hingga keduanya pun dapat tidur dengan nyenyak.
Setelah memastikan keduanya pulas, aku keluar dari kamar sempit itu, dan berjalan menuju sebuah kamar lainnya.
Sesampainya di sana, kudapati Mas Yudis tengah menata kardus berisi pakaian di samping kasur. Ia menoleh dan tersenyum begitu melihatku masuk.
Kamar ini sama kecilnya seperti yang ditempati kedua putriku. Bahkan, kuperkirakan ukurannya pun sama. Kamar yang hanya muat untuk diisi sebuah kasur berukuran sedang, serta lemari kecil, atau sebuah meja dan kursi kecil.
Namun, sayangnya kami belum memiliki lemari kecil, ataupun meja dan kursi kecil untuk diletakkan di dalam kamar. Mungkin, kami bisa memikirkannya esok hari. Malam ini, biarlah kami mengistirahatkan lelah pada tubuh dan pikiran sejenak.
Aku dan Mas Yudis sudah berbaring bersama di atas kasur yang sama, di rumah yang sama, dan dalam keadaan yang sama. Kami memang selalu berharap agar bisa selalu bersama dalam suka maupun duka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Idaman (Tamat)
Dragoste👨👩👧👦🌻🌿🏡🌄 Ini hanyalah kisah kecil dariku .... Setiap orang tentu bercita-cita untuk memiliki RUMAH IDAMAN masing-masing. Sama, aku pun. Akan tetapi, tahukah kalian bahwa sebuah rumah idaman itu tidak harus rumah yang mewah. Tidak harus r...