Suamiku Mencari Pekerjaan

324 17 1
                                    

"Assalamualaikum?" Aku mengetuk pintu rumah, tetapi tidak terdengar sahutan. "Assalamualaikum, Mas Yudis?"

Ah, di mana dia? Apa dia tidak di rumah? Kugerakkan gagang pintu. Terkunci.

"Ayah?" seru Savira.

"Mungkin ayah sedang keluar, Bun," ujar Savina.

Aku dan kedua putriku pun memutuskan untuk duduk di teras-menunggu Mas Yudis pulang. Lagi pula, kunci rumah hanya ada satu, dan itu dipegang oleh yang terakhir meninggalkan rumah-yaitu suamiku.

"Bunda, haus," rengek Savira seraya mengelus lehernya-bagian tenggorokan-dengan penuh rasa dahaga.

"Sebentar, ya, Nak. Kita tunggu ayah pulang," kataku.

Benar saja. Selang sepuluh menit kemudian, Mas Yudis pulang dengan membawa peluh-peluh di tubuhnya yang bercucuran. Kaos putihnya tampak kotor. Entah apa yang telah Mas Yudis kerjakan. Namun, yang lebih mencolok adalah ... Mas Yudis berjalan seraya memegangi pinggang bagian kanannya.

"Assalamualaikum?" ucap suamiku.

Kami pun serentak menjawab, "Waalaikumsalam."

"Mas dari mana? Itu pinggang Mas kenapa?" tanyaku cemas seraya berdiri, kemudian mendekat kepada suamiku.

"Hanya ... salah urat," jawab Mas Yudis.

"Kamu keseleo, Mas?"

"Enggak tahu ini, sakit banget tiba-tiba."

"Memangnya Mas dari mana? Habis ngapain?"

"Mas baru saja mendapatkan pekerjaan, Santi," jawab Mas Yudis sembari meringis kesakitan.

"Mas kerja apa?" tanyaku terkejut.

"Mas nyoba kerja sebagai tukang angkat berat," jawabnya.

Hah? Tukang angkat berat? Aku berpikir, memutar otak sejenak. "Mas bekerja sebagai kuli panggul?" tanyaku. Dan Mas Yudis mengangguk.

Ya Allah ... kasihan sekali suamiku. Seandainya saja nama baiknya sebagai pegawai negeri sipil tidak sampai tercoreng. Tentu suamiku akan lebih mudah mencari pekerjaan.

Mendadak, ada yang memaksa keluar dari pelupuk mataku, tetapi aku harus menahannya. Tidak baik menangis di depan anak-anak.

***

Pukul empat sore, usai salat asar, aku pergi mengunjungi sebuah rumah yang letaknya di paling timur ujung dusun ini. Rumahnya Mbah Mar. Aku lupa nama panjangnya siapa. Entah Maryati, Markonah, Marijem, atau Marimar. Aku benar-benar lupa.

Bu Tinah yang memberitahuku tentang seorang dukun pijat-urut yang ada di kampung ini. Sebab terlalu buru-buru, aku jadi tidak ingat nama lengkapnya.

Setelah berjalan kaki, aku pun sampai di depan sebuah rumah yang cukup kecil. Rumah itu terbilang sangat sederhana. Lebih kecil dari rumah yang kutinggali. Juga lebih sederhana dari pada rumahku. Sepertinya, di antara rumah warga kampung ini, rumah inilah yang paling kecil.

Lihat! Dindingnya saja masih terbuat dari kayu. Aku sedikit merinding ketika berdiri di depan pintu. Entah mengapa, udaranya tiba-tiba berubah dingin. Aku pun celingukan.

Ada serumpun pohon bambu tidak jauh dari rumah. Seram. Konon mitosnya, pohon bambu itu, kan, suka ditempati makhluk halus? Entahlah, aku pernah dapat mitos semacam itu.

Segera kuucapkan salam seperti biasanya ketika bertamu. Tidak lama, seorang perempuan tua, dengan rambut yang memutih, dan tubuh kurus itu menyambutku dengan senyuman hangat-menyebabkan gigi depannya yang tinggal dua itu terekspos. Seharusnya itu tampak lucu, tetapi entah mengapa wajahnya agak menyeramkan, membuatku takut saja. Ini manusia, kan?

Rumah Idaman (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang