Hidup Sederhana

244 20 4
                                    

Aku baru pulang setelah berbelanja kebutuhan pokok. Kuletakkan beras, minyak goreng, dan gula pasir di dapur. Setalah menatanya dengan rapi pada tempatnya, aku pun menghampiri kedua putriku yang tengah asyik menikmati jajanan di teras rumah.

"Bunda mau?" tawar Savina yang duduk di sebelahku.

Dan aku menggeleng.

"Bunda kenapa?" tanya si sulung mengamatiku.

"Enggak apa-apa," jawabku seraya tersenyum.

"Bunda enggak marah sama kita, kan?" tanya si sulung lagi.

"Enggak, Sayang. Untuk apa bunda marah?" Aku balik bertanya.

"Kupikir, Bunda marah karena kita minta jajan tadi," ujar Savina sembari menikmati camilan di tangannya.

Aku beranjak, kemudian berganti posisi duduk di tengah—di antara kedua putriku. Kuelus kedua kepala gadis cilikku lembut. "Sayang, lain kali, kalau kalian mau beli sesuatu, lihat-lihat dulu bunda masih punya uang yang cukup atau tidak? Kalau seperti tadi, kan, bunda jadi enggak enak hati sama Pak Yanto," jelasku.

"Iya, Bunda. Maafin Vira, ya?" ucap Savira. "Lain kali, Vira akan lebih berhemat!"

"Maafin kami, ya, Bunda," ucap Savina juga.

Kami pun berpelukan.

"Eh, Sayang, kalian habisin camilannya dulu. Abis itu, ikut bunda, yuk!" ajakku.

"Ke mana, Bun?" tanya Savira.

"Ada, deh, pokoknya hari ini, kita bakalan asyik bareng!"

"Mau!"

"Mau, Bun!"

***

Kami sudah berada di kebun belakang rumah. Letaknya tepat di belakang rumahku. Atau di belakang area sumur.

Kebun itu tidak luas. Hanya satu petak tanah. Tapi lumayan untuk dipergunakan sebagai lahan bertanam sayuran atau apa sajalah.

Kebun itu milik kami karena Mas Yudis membelinya langsung bersama dengan rumah dan pekarangan ini. Jadi, sebenarnya kebun itu masih termasuk dalam pekarangan kami.

Aku sudah menyiapkan cangkul kecil—seperti yang biasa digunakan para petani untuk membantu menyiangi rumput. Akan kugunakan itu untuk menggali tanah dan membersihkan lahan dari rumput-rumput liar.

"Bunda, ada nyamuk!" Savira menggaruk-garuk lengannya yang terkena gigitan nyamuk.

Ah, aku lupa. Seharusnya kami memakai lotion anti nyamuk sebelum ke kebun. Atau memakai pakaian panjang untuk menghindari kulit kami dari paparan sinar UV matahari.

"Ya sudah, kalian duduk saja, ya? Atau kalian pulang ke rumah, pakai lotion anti nyamuk dulu, setelah itu kembali ke mari?"

Mereka pun mengangguk, kemudian berlarian menuju rumah. Sedangkan aku mulai mencabuti rumput-rumput liar.

Ini adalah kali pertama aku berkebun. Tidak masalah. Hanya saja, rasa gatal pada kulit tubuh mulai menderaku. Entah terkena bulu ulat atau nyamuk, rasanya gatal sekali. Uh, rupanya tidak semudah yang kubayangkan.

Padahal aku semangat sekali ingin menanami sayur-mayur di kebun ini. Aku sempat memperhatikan kebun belakang rumah Pak Suleman. Banyak sekali sayuran yang ada di sana. Aku bisa berhemat jika punya kebun sayur sendiri.

Tidak lama, kedua putriku kembali ke kebun. Mereka membawakan lotion anti nyamuk untukku. Mereka berdua juga yang mengolesi lenganku dengan lotion.

"Terima kasih, Sayang," ucapku senang.

Mereka pun mulai bermain di kebun dengan gembira. Seperti menggali tanah, kemudian memasukkan kaki mereka dan menutupinya dengan tanah itu kembali.  Sesekali mereka tertawa. Aku menjadi ikut tertawa melihat keceriaan mereka.

Biar saja pakaian dan tubuh mereka kotor. Toh, katanya, berani kotor itu baik. Asal jangan kotor hatinya.

"Bunda, ini mirip seperti di pantai!" seru si bungsu girang.

Aku tersenyum bahagia. Kadangkala, kesederhanaan justru akan membuka mata hati kita untuk melihat hal-hal kecil dengan lebih baik dan penuh syukur.

***

Suara adzan berkumandang, pertanda hari sudah siang, dan kami harus buru-buru meninggalkan aktivitas di kebun.

Kami pun bergegas menuju sumur untuk mandi dan membersihkan diri. Setelah itu, maka kami akan menunaikan salat dzuhur bersama-sama.

Kebetulan sekali, ketika kami selesai mandi, Mas Yudis pulang. Aku memandang ke arahnya. Tampak di tangannya, suamiku menenteng ubi singkong yang masih pada pangkal batangnya. Besar-besar, aku jadi membayangkan, sepertinya enak untuk direbus, kemudian dimakan bersama-sama.

"Assalamualaikum ...."

"Waalaikumsalam ...." Kami menjawab hampir bersamaan.

"Wah, kayaknya enak, tuh, buat direbus," ujarku tersenyum sumringah.

"Alhamdulillah. Dikasih sama Pak Harjono," kata suamiku sembari menyunggingkan senyum di sela-sela wajah lelahnya dan keringat yang bercucuran. Mas Yudis pasti sangat lelah.

"Ya sudah, mandilah! Aku akan membuatkan kopi untukmu," kataku.

"Kalian mau salat dzuhur, kan?" tanyanya.

"Iya," jawab kami hampir bersamaan lagi.

"Tunggu sampai ayah selesai mandi, ya? Kita salat berjamaah," katanya.

"Siap, Ayah!" jawab kedua putriku serentak.

***

Usai salat dzuhur, aku memasak telur pemberian Pak Yanto untuk makan siang kita.

"Hm, baunya enak, nih."

Aku menoleh, dan segera mendapati Mas Yudis yang sudah berdiri di belakangku. "Sudah laper?"

"Iya," jawabnya.

"Pasti capek banget, ya, Mas."

"Enggak. Jadi punya pengalaman baru nyabutin singkong."

"Banyak yang ikut?"

"Lima belas orang. Tanahnya luas banget. Tapi asyik juga, sih, kerja sambil bercanda. Tapi belum dapet upah. Kata Pak Suleman, biasanya besok atau lusa baru diupah."

"Tidak apa-apa," jawabku tersenyum. Ya, semoga bisa segera diupah. Soalnya, uangku tinggal lima ribu. Tapi aku tidak mau memperlihatkan wajah sedihku di depan Mas Yudis. Dia akan turut bersedih nantinya.

Usai menggoreng telur, kami pun makan siang bersama. Jika sebelumnya, telur adalah menu biasa kami di kota. Berbeda dengan sekarang, telur ayam dadar menjadi menu yang spesial bagi kami dengan kehidupan ekonomi yang sekarang.

Ternyata, rasanya juga berbeda. Terasa lebih enak dan nikmat. Padahal aku memasaknya seperti biasanya. Kesederhanaan menciptakan cita rasa yang luar biasa dalam kehidupan kami.

"Santi, kalian habis dari mana tadi? Kok pada mandi bareng?" tanya Mas Yudis.

"Kami habis main pasir pantai, Yah," jawab Savira.

"Pasir pantai?" Mas Yudis mengangkat kedua alisnya.

"Bukan, Yah. Tapi main tanah di kebun belakang rumah. Jadi, serasa di pantai gitu." Savina membenarkan.

"Iya, Mas. Aku barusan membersihkan kebun belakang. Biar bisa ditanami sayuran. Lumayan, kan, bisa berhemat kita kalau sayuran metik sendiri di kebun. Gara-gara melihat kebun belakang milik Pak Suleman jadi kepingin aku, Mas," jawabku.

Mas Yudis tersenyum, kemudian berkata, "Besok, aku akan mewujudkan keinginan kamu itu. Aku akan menanam banyak pohon pisang, lengkuas, serai, jahe, singkong, bayam, dan lain-lain. Kita akan punya kebun sayuran sendiri."

"Aamiin ...."

Kami pun melanjutkan makan siang kita dengan semangat. Begitu banyak hal yang perlu kita pelajari dalam hidup ini. Hidup sederhana tidak akan membuat kita sengsara, selama kita selalu berpikir positif dan selalu bersyukur. Jangan lupa untuk selalu kreatif dan bekerja. Aku yakin, di kehidupan nyata pada umumnya, bukan hanya keberuntungan yang memenangkan penghargaan. Tapi kerja keras dan kreativitas! Jangan pernah menyerah!

Rumah Idaman (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang