Kesulitan Ekonomi

288 18 3
                                    

Hari ini adalah hari Minggu. Aku bangun lebih awal bersama Mas Yudis untuk melakukan mandi wajib. Setelah itu, kubangunkan Savina dan Savira untuk mengajak mereka salat subuh berjamaah.

Usai salat, Savira dan Savina kembali tidur. Katanya masih mengantuk. Baiklah, tidak apa-apa. Lagi pula ini adalah hari libur.

Sementara aku langsung menuju dapur. Mengerjakan tugasku sebagai seorang istri, seperti membuatkan kopi untuk Mas Yudis, dan memasak untuk sarapan pagi.

Sayangnya, tidak ada bahan makanan, kecuali tempe. Persediaan beras dan minyak juga hampir habis. Aku tidak yakin beras yang akan kuolah menjadi nasi itu cukup untuk makan kami sehari.  Tidak apa. Aku akan mengolah dengan bahan seadanya.

***

Pukul setengah tujuh, aku sudah selesai memasak. Kubangunkan kedua putriku di kamar mereka.

"Bunda sudah menyiapkan air hangat untuk kalian. Cepatlah mandi!"

"Masih mengantuk, Bun." Savira yang menjawab.

"Ayo Sayang. Nanti keburu airnya kembali dingin," kataku. "Bunda juga sudah menyiapkan sarapan untuk kalian. Ayo bangun!"

Setelah membujuk, akhirnya mereka pun bangun. Aku mengantarkan mereka ke sumur sembari membawakan handuk. Kusampirkan handuk itu di seutas tali rafia yang sengaja dibuat oleh Mas Yudis untuk menaruh handuk—menggantungnya.

Dengan wajah sebal, Savira dan Savina membuka baju mereka. Aku pun membantu mereka melepaskan pakaian.

"Dalemannya dipakai saja," perintahku.

Lagi pula, sumur alias tempat mandi kami, masih agak terbuka. Hanya dikelilingi oleh anyaman bambu yang tidak cukup tinggi—hanya setinggi dadaku atau dada orang dewasa. Kadang-kadang ketika mandi, aku khawatir kalau ada yang melihat apalagi mengintip.

Awalnya, Savina dan Savira sering merengek karena tidak mau mandi di situ. Tapi lama-lama mereka pun bisa beradaptasi.

Dan aku juga sering cemas tatkala mereka sedang mandi. Takut mereka bermain-main dan jatuh ke sumur. Segitu naifnya aku. Sebab, sumurnya lumayan dalam dan tidak ditutup—karena kami mengambil airnya secara manual alias menimbanya menggunakan katrol. Ya, maklum, memang begini kondisinya.

Selagi mereka mandi, aku menimba air untuk mencuci pakaian. Namun, tiba-tiba Mas Yudis datang dan meraih karet penimbanya.

"Biar aku saja," katanya.

"Tidak apa, Mas. Aku bisa, kok."

"Nanti tanganmu menjadi kasar. Kapalan," katanya lagi.

"Enggak apa-apa. Biar kita bisa berlayar," candaku tersenyum. "Naik kapal, kan? Kayak di film Titanic." Aku setengah tertawa.

Namun, bukannya merasa lucu, Mas Yudis malah menatapku semakin iba. "Aku sangat beruntung memiliki istri sepertimu, Santi. Maafkan aku, ya?"

Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala. "Tidak ada yang bersalah. Jadi tidak usah meminta maaf, Mas. Kita nikmati dan syukuri saja apa adanya."

"Terima kasih banyak, Shanti," ucapnya kemudian dengan tatapan penuh kepadaku.

"Ciyeee?" Savira dan Savina serentak menyoraki kami.

Kami pun menjadi tertawa bersama. Sepertinya kami perlu banyak-banyak tertawa, agar rasa sedih ini perlahan-lahan sirna dengan sendirinya. Dan kami mulai menikmati kehidupan baru yang jauh dari hal-hal mewah seperti sebelumnya.

***

Setelah merapikan pakaian kedua putriku, kusisir rambut panjang basah mereka. Kemudian kami sarapan pagi bersama di ruang tengah —yang telah resmi kami nobatkan sebagai tempat berkumpul alias ruang keluarga.

Rumah Idaman (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang