Mencurigai Suami

351 15 4
                                    

"Mas?" seruku mencari Mas Yudis.

Sudah mencarinya di kamar, di dapur, dan di sekitar rumah ini, tetapi tidak ada. Kira-kira ke mana suamiku pagi-pagi begini? Apa dia sudah berangkat ke kebun? Akan tetapi, ini masih pukul tujuh pagi dan dia belum sarapan. Tidak mungkin.

Aku berdiri di teras. Secangkir kopi yang masih hangat tertinggal sendirian di atas meja kayu. Namun, penikmatnya tidak sedang duduk di kursi. Lalu dia di mana?

Apa mungkin sedang menyiram tanaman di kebun belakang rumah? Ah, mungkin saja.

Akan tetapi, ketika aku hendak masuk ke dalam rumah, ekor mata ini menemukan sepasang sandal jepit yang mirip milik Mas Yudis di depan teras rumah Wati.

Apa itu sandalnya Mas Yudis? Tapi sandal jepit seperti itu, kan, banyak yang punya? Bahkan, aku sering menemukan warga kampung ini hampir semuanya memilikinya. Terbukti ketika aku pergi ke masjid untuk salat berjamaah waktu itu. Di depan teras masjid, banyak sekali sandal swallow semacam itu.

Wajar, sih, kalau sering tertukar. Mirisnya lagi, kalau sandal milik kita yang masih baru, tertukar dengan sandal jepit yang sudah lusuh atau rusak.

Tapi aku sedang tidak ingin membahas soal sandal. Aku sedang mencari suamiku. Aku hampir lupa untuk meminta izin padanya, bahwa hari ini aku mau mengikuti senam zumba di halaman rumah Rina bersama emak-emak lainnya.

Kecurigaanku ternyata benar. Mas Yudis keluar dari rumah Wati, dan tengah memakai sandalnya.

"Mas!" seruku.

Mas Yudis menoleh ke arahku. Menyunggingkan senyumnya. Sedangkan aku tengah dilanda keterkejutan. Kenapa Mas Yudis berada di rumah Wati?

Tapi tiba-tiba Wati pun keluar. "Terima kasih banyak, ya, Mas Yudis?" ucapnya seraya tersenyum.

"Sama-sama Mbak Wati," balas Mas Yudis tersenyum kepada Wati. "Ya sudah, aku permisi, sudah ditungguin istri." Mas Yudis melirik ke arahku yang masih berdiri di teras-menantinya.

Wati mengalihkan pandangannya ke teras rumahku-memandangku. "Pagi, Mbak Santi," sapanya.

"Pagi," jawabku seraya melengkungkan senyuman.

Wati kembali masuk ke dalam rumah. Sedangkan Mas Yudis berjalan ke arahku.

"Nyariin aku, ya?" tanyanya begitu sampai di teras.

"Iya, Mas. Mas habis ngapain di rumah Mbak Wati?"

"Oh, tadi, Mbak Wati meminta bantuan sama mas. Lampu di kamarnya kabelnya putus. Nah, tadi mas nyoba benerin. Eh, ternyata bisa," girangnya tersenyum lebar. "Sepertinya suamimu ini ada bakat jadi tukang listrik," candanya terkekeh sendiri.

"Oh ...."

Entah mengapa, tiba-tiba saja hati ini merasakan kecurigaan terhadap mereka. Wati itu, kan, janda. Lagi pula, kenapa Mas Yudis tidak izin terlebih dahulu kepadaku? Jangan-jangan yang dikatakan Bu Tejo dan orang-orang kampung ini memang benar, bahwa Wati itu suka menggoda suami orang.

Astaghfirullahaladzim, seharusnya aku tidak suudzon.

Lagi pula, Mas Yudis bukanlah tipe laki-laki yang mudah tergoda oleh wanita. Aku yakin sekali itu.

"Kamu kenapa?" tanya Mas Yudis seraya memerhatikanku.

"Tidak apa-apa, Mas. Eh, Mas, aku mau meminta izin sama Mas."

"Meminta izin?" Mas Yudis mengangkat kedua alisnya.

Aku mengangguk. "Nanti, pukul sepuluh pagi, aku mau ikut senam zumba bersama emak-emak di RT ini."

Rumah Idaman (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang