Adaptasi di Lingkungan Baru

380 21 0
                                    

Aku baru saja meminta izin kepada Mas Yudis, bahwa aku mau keluar sebentar untuk berbelanja sayuran.

Kebetulan ada tukang sayur keliling. Tidak jauh. Tukang sayur itu berhenti di depan rumah tetangga-sebelah rumahku. Jadi, aku pun ke sana.

"Assalamualaikum," ucapku untuk menyapa beberapa ibu-ibu berdaster yang tengah asyik berebut sayuran. Karena bila tidak cepat, nanti keburu dipilih orang. Emak-emak kan memang begitu.

"Waalaikumsalam ...."

Mereka serentak menjawab seraya melihat ke arahku yang melempar senyuman ramah. Beberapa pun turut membalas senyumanku. Namun, ada juga yang tidak. Biasalah, hidup bertetangga, berbangsa, dan bernegara, kan memang ber-Bhineka Tunggal Ika. Walaupun berbeda-beda karakter tetapi tetap satu. Katanya sih begitu.

"Wah, orang baru di kampung ini, ya?" tanya salah seorang tetangga memperhatikanku. Orangnya gemuk, dengan rambut pendek yang ikal dan mengembang. Kuperkirakan usianya sekitar 40 tahun, mungkin. Aku tidak terlalu yakin menebak. Kadangkala penampilan orang agak mengecoh. Ada yang terlihat muda, ternyata sudah tua, atau sebaliknya.

"Iya, kenalkan, aku Santi." Aku mengulurkan tangan kanan kepadanya.

Ia pun menjabat tanganku. "Panggil saja Tina," katanya tersenyum.

"Yee, kebagusan itu, mah. Namanya Sutinah. Panggil Tinah saja, Mbak Santi," seloroh seorang perempuan lainnya.

"Ya, kan, biar agak bagusan dikit," ujar Sutinah.

Aku tersenyum, senang melihat tingkah mereka. Kemudian yang lainnya pun turut berkenalan denganku.

"Oh, ini yang istrinya Pak Yudis, ya?" kata salah seorang perempuan dengan tubuh kurus dan pendek.

"Iya, benar. Kok bisa tahu?" tanyaku terkejut. Padahal aku belum memberitahu.

"Tadi pagi, suamimu ke rumahku. Meminta tolong kepada suamiku untuk membantu membersihkan air sumur," terangnya.

"Oh, Mbak ini istrinya Pak Parjo, ya?" Aku menebak.

"Bukan." Perempuan itu tertawa. "Aku Atun, istrinya Pak Suleman. Kalau istrinya Parjo mah Rina. Orangnya serem. Kalau marah, suka ngegigit orang. Roarr!" Perempuan bernama Atun itu memperagakan tangannya seperti gerakan mau mencakar dengan suara menirukan harimau.

Aku pun tertawa melihat tingkah Atun. Beberapa perempuan lainnya juga ikut tertawa.

"Awas, loh! Ntar ketahuan orangnya. Kamu yang bakalan digigit!" bisik Sutinah kepada Atun. Tapi aku masih bisa mendengarnya.

"Halah, bodo! Palingan dia lagi senam gajah jam segini," ujar Atun seraya menoleh ke arah sebuah rumah bercat kuning. Rumah itu terlihat sederhana tetapi bersih. Di antara rumah-rumah yang berjajar di sebelah rumahku, sepertinya rumah itu yang memiliki halaman paling luas. Rumah tersebut terpaut dua rumah dari rumahku. Samar-samar memang terdengar suara musik erobik atau zumba, entahlah. Yang jelas musiknya memang semacam musik dengan ritme yang cepat. Seperti musik yang biasa digunakan untuk senam erobik atau zumba.

Aku menjadi penasaran dengan perempuan bernama Rina itu. Lalu kenapa tadi disebut senam gajah? Ah, aku jadi semakin penasaran saja.

Pada hari ini, pagi pertamaku di kampung, akhirnya aku bisa mengenal beberapa tetangga.

Sutinah alias Tinah, yang rumahnya cukup dekat dari rumahku. Tepatnya berada di sebelah timur rumah Rina—yang aku sendiri belum pernah berjumpa dengan istrinya Pak Parjo itu.

Kemudian Atun—istrinya Pak Suleman. Perempuan bertubuh mini yang memiliki warna kulit lebih cerah dari emak-emak lainnya. Kulihat sepertinya dia pandai merawat kulitnya. Atau mungkin warna kulitnya itu berasal dari gen alias keturunan. Rumahnya berada di sebelah barat rumah Rina.

Ada lagi, Wati. Dia memiliki postur tubuh yang berisi alias montok, kulit sawo matang, hidung mancung, serta bibir sensual. Dia agak mirip perempuan India. Rambutnya juga panjang dan diikat rendah. Katanya, suaminya baru meninggal tiga bulan yang lalu karena kecelakaan lalu lintas. Dan rumah Wati tepat di sebelah rumahku.

Yeni. Perempuan berpostur tinggi dan kurus. Memiliki wajah yang ayu dan manis menurutku. Katanya, dia itu menantunya Pak Harjono—juragan tanah di kampung ini.

Yang terakhir, adalah tukang sayur itu sendiri. Namanya Pak Jarwo. Tapi bukan Jarwo yang ada di film kartun 'Adit, Sopo, Jarwo'. Pak Jarwo ini posturnya kurus dan tidak terlalu tinggi. Memiliki tipe kulit sawo matang, serta kumis lebat di bawah hidungnya.

"Berapa total belanjaanku, Pak Jarwo?"

"Tiga puluh lima ribu rupiah, Mbak Santi," jawabnya.

Kuberikan uang lima puluh ribuan kepada Pak Jarwo. "Ini, Pak." Kemudian dia memberikan uang kembalian padaku.

Usai berbelanja, aku pun kembali ke rumah dengan membawa satu kantong plastik berisi sayuran, tahu-tempe, dan setengah kilogram daging ayam. Kasihan Savina dan Savira yang kelaparan semalam. Jadi, aku membeli daging itu untuk mereka.

Aku harus berhemat. Jika tidak, aku khawatir besok atau lusa tidak bisa berbelanja kebutuhan pokok lagi. Apalagi, Mas Yudis juga belum tahu akan bekerja di mana untuk mencukupi kebutuhan keluarga kecil kami.

Sesampainya di rumah, kudapati kedua putriku sudah bangun. Mereka tengah duduk di kursi kayu dengan wajah kumal.

Aku tersenyum menyapa mereka. "Pagi, Vina, Vira?"

"Pagi, Bun." Serentak mereka menjawab.

"Bunda dari mana?" tanya Savira.

"Habis beli sayuran," jawabku. "Kalian tunggu di sini sebentar, ya? Bunda mau memasak dulu."

"Bunda, aku mau mandi," rengek Savira.

Ya Allah ... mereka tentu sudah sangat risih dengan lengket dan bau tubuh. "Sebentar, biar Bunda panggil Ayah kalian, ya?"

Bergegas aku menghampiri Mas Yudis yang tengah membantu Parjo dan Suleman membersihkan air sumur.

"Mas," panggilku.

Mas Yudis menoleh. Dan aku menggerakkan tangan, mengisyaratkan agar Mas Yudis masuk ke dalam rumah.

Ia pun beranjak dan menghampiriku. "Iya, Santi. Ada apa?"

"Apa masih lama sumurnya dibersihkan?"

"Masih, Santi. Kenapa memangnya?"

"Apa lebih baik, kita cari air bersih di tempat lain dulu? Soalnya Vina sama Vira sudah merengek ingin mandi. Lalu ini." Aku menjinjing belanjaanku, memperlihatkannya kepada Mas Yudis. "Aku juga harus segera memasak."

Mas Yudis mengangguk-angguk mengerti. "Kamu di rumah saja. Biar aku yang mencari air."

"Kamu mau mencari air bersih di mana?"

"Sebentar." Mas Yudis keluar dan menghampiri Suleman yang tengah berdiri di tepi sumur.

"Maaf, Pak Leman. Di kampung ini ada sungai atau tidak?" tanya Mas Yudis kepada Suleman.

"Ada. Memangnya mau ngapain, Pak Yudis?"

"Ini, mau ngambil air bersih buat masak sama buat mandi anak-anak."

"Oalah, di rumahku saja, Pak Yudis. Tidak usah ke sungai."

"Alhamdulillah, terima kasih banyak, ya, Pak Leman."

"Iya, Pak. Santai saja."

Akhirnya, suamiku diantarkan Suleman menuju rumahnya untuk meminta air bersih. Dan aku pun bisa memasak air untuk minum, juga memasak nasi dan lauknya.

Pindah rumah memang tidaklah mudah. Apalagi disertai keadaan yang serba susah. Tapi kami masih bersyukur karena dikenalkan dengan orang-orang baru yang baik dan suka membantu.

Parjo dan Suleman bekerja hingga sore hari, dan suamiku pun memberikan upah kepada mereka. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih.

Rumah Idaman (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang