Yang Miskin yang Terkucilkan

192 16 1
                                    

Di dalam sebuah keluarga besar, ketika tengah berkumpul, kira-kira obrolan apakah yang paling seru?

Selain membicarakan perihal pekerjaan dan rencana, mungkin membicarakan tentang keunggulan masing-masing adalah sesuatu yang sudah biasa terjadi.

Seperti yang saat ini terjadi di sebuah meja makan besar berbentuk oval dengan jumlah kursi sebanyak lima belas.

"Mas Surya sedang meluaskan cabang usahanya di luar kota, Pa, Ma. Doakan agar semuanya bisa berjalan dengan lancar, ya?" papar Mbak Kinanti.

"Ya, semoga saja semua bisnismu lancar, Surya," timpal papa.

"Tuh, lihatlah Surya. Dia ini bisa dijadikan contoh buat kalian. Bisnisnya maju, selalu berinovasi pula. Memang bener, deh, kamu ini mantu idaman banget buat mama, Nak," puji mamaku.

Ya, begitulah mamaku. Mas Surya memang kerap mendapatkan pujian dari mama. Memang, di antara ketiga menantunya, Mas Suryalah yang bisnisnya terbilang paling sukses dan kaya.

Mas Surya semakin menegakkan bahunya dipuji sedemikian oleh mama. Beberapa detik, ia melirikku seraya mengedipkan sebelah matanya. Aku buru-buru fokus kembali ke makanan di piringku.

"Tidak hanya Mas Surya, kok, Pa, Ma. Mas Hendra juga sedang mencoba bisnis baru. Kami ini sudah berniat untuk mendirikan pabrik roti di sekitar lokasi pabrik susu. Doakan kami agar bisnis kami lancar, ya, Pa, Ma." Arinta tidak mau kalah. Ia pun turut mengunggulkan suaminya.

"Alhamdulillah, mama senang sekali mendengarnya. Semoga kalian semakin sukses dan tidak pernah melupakan papa sama mamamu ini, ya?" Mama tersenyum lebar.

"Eh, Santi. Kami semua sudah bercerita tentang bisnis suami masing-masing, loh? Kamu enggak mau berbagi cerita apa-apa tentang bisnis atau pekerjaan suamimu di kampung?" tanya Mbak Kinanti menatapku.

Mbak Kinanti duduk di sebelah Mas Surya, di seberangku.

Aku terdiam mendengar pertanyaan Mbak Kinanti, tetapi kemudian aku tersenyum. Melirik suamiku dengan bangga dan berkata, "Alhamdulillah, kami hidup berkecukupan di kampung. Suamiku selalu bekerja keras dan penuh tanggungjawab. Meski kehidupan kami cukup sederhana, tetapi kami selalu bersyukur dan merasa bahagia. Terlebih, Mas Yudis adalah tipe suami yang setia dan selalu memperlakukan aku dan anak-anak dengan lembut. Sehingga sedikitpun, kami tidak pernah merasakan kekurangan sandang, pangan, papan, ataupun kasih sayang."

Kusentuh jemari tangan Mas Yudis yang terasa begitu dingin. Aku tahu, Mas Yudis pasti sangat tidak nyaman berada di situasi seperti ini.

Maafkan keluargaku, ya, Mas. Tapi aku akan selalu bangga memiliki suami sepertimu.

"Halah, Santi! Kamu terlalu melebih-lebihkan sesuatu yang tidak nyata!" ucap mama.

"Mah." Namun, papa buru-buru menghentikan mama sebelum mengatakan sesuatu yang lebih menyakitkan di hati suamiku.

Mas Surya berdehem. "Ya, semoga saja yang kamu ceritakan itu jujur, Santi. Tapi, kalau kamu butuh uang atau butuh sesuatu, mas siap membantu, kok."

Perkataan Mas Surya membuat raut muka Mbak Kinanti berubah. Perempuan berambut ikal itu menyikut lengan suaminya. "Apaan, sih, Mas!" kesalnya seperti sedang cemburu.

Arinta yang sedang menyuapi Adrian, tiba-tiba bertanya kepada kedua putriku, "Savina sama Savira makannya lahap banget, deh. Tante seneng melihatnya."

"Iya, Tante. Habisnya ayamnya enak. Dan aku bisa makan banyak di sini," girang Savira sembari menghabiskan satu potong paha ayam di tangannya.

"Ya ampun, Santi. Memangnya mereka jarang dikasih makan daging, ya?" tanya Mbak Kinanti.

Aku tertegun. Savira hanyalah anak kecil yang masih polos. Bagaimanapun, aku tidak boleh menyalahkannya.

Rumah Idaman (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang