Ayudia Azzahra

5.3K 283 18
                                    

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, saat itu aku berjalan menelusuri trotoar dimana toko-toko mulai mematikan lampu atau menutup rolling door dan semua karyawannya bersiap untuk pulang.

Sama seperti mereka, aku yang bekerja di minimarket juga baru saja selesai bekerja, mataku menatapi banyak sorot lampu mulai dari lampu jalan, lampu lalulintas dan kendaraan.

Langkahku kemudian berhenti pada satu toko terbengkalai yang sudah lama tidak berpenghuni, kakiku bersimpuh disana, sambil menatapi satu induk kucing dan ke-empat anaknya, aku merogoh tas dan memberikan mereka makanan kucing yang selalu aku bawa setiap hari.

"Hai Coco." sapaku pada si induk kucing sambil mengusap bulunya.

Aku sedikit merapikan kardus yang dijadikan sebagai rumah mereka, mengganti alasnya dengan yang baru agar mereka lebih nyaman.

Jika kalian bertanya kenapa para kucing ini tidak aku bawa kerumah? Jawabannya karena tidak bisa, bibi-ku akan marah jika mendapati aku membawa kucing-kucing ini dan mungkin malah akan menyiksa mereka.

Umurku sekarang 23 tahun, menjalani kehidupan tanpa kedua orang tua sejak 17 tahun dan tinggal bersama bibi bukanlah hal yang mudah. Bibi lumayan baik, karena dia sudah mengizinkanku tinggal di kontrakannya walau aku harus tidur di ruangan sebesar 3x3 meter itupun harus berdesakkan dengan barang-barang lusuh miliknya. Kerapkali Bibi juga melayangkan tangannya, memarahiku dan memukulku hanya karena aku pulang sore karena harus kerja kelompok, tidak memberiku makan bahkan menjual rumah kedua orangtuaku tanpa sepengetahuanku. Dulu aku pernah mengadu pada Paman yang tinggal di luar pulau, tetapi jawaban yang aku dapat hanya aku yang harus tahan dengan sikap Bibi karena bagaimanapun kami tetaplah saudara yang terikat secara darah.

Di usia menginjak 20 tahun dan saat itu aku yang sudah sangat muak dengan sikap Bibi pernah melakukan pemberontakan, ikut melawan dan melempar barang terhadapnya yang berakhir jari-jari tanganku yang harus di jepit pintu hingga beberapa tulangnya patah. Ah, itu tragedi yang sangat memilukan.

Sadar jika Bibi tidak menafkahiku sejak pertama kali aku menginjakkan kaki dan tinggal di kontrakan bersamanya memaksaku untuk bekerja demi menafkahi diri sendiri termasuk biaya sekolah, makan dan juga Arga.

Arga itu adikku, bukan adik kandung karena kedua orangtuaku mengadopsinya dari panti asuhan tempat mereka bekerja semasa hidup.

"Halo Shinta, Aku lagi di jalan, Arga sudah tidur?"

Setiap pagi aku harus mengantar Arga ke sekolah, kemudian bekerja sampai malam dan menjemput Arga yang setiap pulang sekolah aku titipkan di rumah temanku, Shinta.

Shinta bekerja sebagai dokter di puskesmas, ia juga teman baikku sedari SMA yang mengetahui keseluruhan cerita hidupku sampai saat ini, peragainya yang baik dan dengan sukarela membantuku membuat hadirnya seperti angin segar ditengah-tengah hidupku yang penuh luka di setiap lembar cerita.

"Arga katanya mau ngomong nih."

"Halo, Ka Ayu?"

"Arga udah makan? Gimana tadi lombanya?"

"Ka Ayu kenapa gak dateng? Ka Ayu padahal pernah bilang sama Arga kalau melanggar janji itu dosa! Ka Ayu jahat!"

"Arga, Ka Ayu minta maaf ya?"

Jalan raya tidak begitu ramai mengingat Indonesia sedang lock down untuk menekan angka penyebaran pandemi, aku yang sudah berdiri di dekat zebracross kemudian merentangkan tangan masih dengan telepon yang terhubung dengan Shinta.

"Gak mau! Arga marah! Ka Ayu pasti ingkar janji lagi nantinya!"

TTIIINNN...

BRUUKKK...

"Ka Ayu?"


###

Buat pembaca yang belum baca AU Step Bro season 2 di Twitter, welcome to the jungle... Gak perlu baca AU nya juga insyaallah ngerti jadi enjoyyy~

Kalau mau baca AU-nya ada di akun @ imxxfab

Hold On [NCT Taeyong FF] ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang