Prolog

14.3K 1.1K 37
                                    

Namaku Anjani.

Usiaku 23 tahun.

Aku adalah seorang pelukis.

Tapi, usia dan pekerjaanku sudah tidak penting lagi sekarang.

Itu karena hari ini adalah hari terakhirku hidup.

Dua belas jam dari sekarang, aku akan diantar ke tempat yang jauh.

Di sana aku akan duduk dengan mata tertutup dan bibir tersenyum.

Di sana aku akan menanti ajal disuapkan padaku.


Aku meletakkan pena di samping kertas, kemudian dengan lembut aku tiup tinta di kertas agar cepat kering. Jemariku menuntun satu sisi kertas ke sisi lainnya, lalu dengan hati-hati aku menekan kertas itu. Aku benci melihat lipatan kertas yang tidak rapi.

Aku meraih amplop putih di ujung meja, lalu aku masukkan secarik kertas tersebut ke dalamnya. Aku tidak perlu repot-repot menuliskan alamat tujuan, karena si pengirim tahu betul untuk siapa surat ini ditujukan.

Setelah semua beres, aku bangkit dan berjalan ke jeruji besi. Di balik jeruji besi itu, seorang pria bertubuh besar sudah menunggu suratku. Tanpa basa-basi ia merenggut surat itu dan langsung pergi meninggalkanku. Sayang sekali, padahal aku tertarik padanya. Andai dia lebih ramah sedikit saja.

Aku duduk di ranjang, menatap tembok kosong di hadapanku. Seseorang pernah mengatakan padaku, semakin dewasa seseorang, maka keinginannya akan jadi lebih sederhana. Aku setuju dengan hal itu. Dulu, aku selalu ingin banyak hal. Mainan, baju baru, atau pergi ke luar negeri. Hal itu masih berlanjut saat aku di bangku sekolah. Punya pacar dan kencan menjadi sesuatu yang aku dambakan. Tapi sekarang, apa yang aku inginkan hanya duduk menatap tembok. Kebahagiaan yang sederhana.

Suara kunci yang diputar merusak ketenangan yang sejak tadi bersemayam bersamaku. Seorang pria berseragam masuk membawa nampan berisi makan siang. Ia menaruhnya di lantai, persis di sebelah pintu. Tanpa bicara, ia kembali mengunci jeruji besi yang menjagaku dari dunia luar, atau menjaga dunia luar dariku.

Belum lima menit berselang, suara pintu jeruji terbuka kembali terdengar. Aku akan jengah kalau saja situasiku tidak begini. Mengetahui kalau hidupmu akan berakhir sebentar lagi membuatmu mendapatkan aktualisasi diri instan. Kamu tidak lagi peduli pada hal-hal duniawi atau yang bersifat emosional. Semua jadi lebih bisa dimaafkan. Tidak ada gunanya marah-marah.

Pintu terbuka, dan sosok pria asing masuk ke dalam. Ia mengenakan jas abu-abu gelap dengan dasi hitam garis-garis. Rambutnya klimis, sedangkan kacamatanya terlihat sangat bergaya. Ia meminta izin untuk duduk di kursi, dan tentu saja aku mengizinkannya.

"Mbak Anjani." Pria itu berujar pelan. "Perkenalkan, saya Bram. Saya di sini untuk membantu Anda."

Membantu? Oke, pria ini berhasil menarik perhatianku. Aku akan meladeninya. "Bantuan apa yang bisa kamu berikan padaku? Kematianku sudah dijamin, enggak ada yang bisa mengubahnya."

"Itu kan menurut Anda," Bram membalas mantap. Seberkas senyum terlukis di wajahnya. "Bantuan yang saya berikan bukan bantuan sembarangan. Saya bisa mengubah sesuatu yang Anda pikir tak terelakkan. Saya hanya minta kerja sama dari Anda, itu saja."

"Aku tersanjung, tapi mukjizat pun sepertinya enggak akan mampu membantu keadaan saya sekarang."

"Berarti, tidak ada ruginya mencoba, bukan? Kalau Anda menerima bantuan saya, ada 50% kemungkinan ini akan berhasil. Berisiko, tapi jauh lebih baik dari nol persen keberhasilan jika Anda menolak."

Aku menghela napas. Pria ini bukan orang yang bisa dianggap remeh. Tapi, kata-katanya masuk akal. Aku akhirnya menerima bantuannya, tanpa tahu apa-apa tentang bantuan seperti apa yang akan diberikannya.

"Sebelum saya bisa memberikan bantuan ini, saya memohon kerja sama dari Anda, Mbak Anjani." Pria itu meletakkan tasnya di pangkuan, mengeluarkan beberapa buku catatan dan satu alat perekam yang ia letakkan di meja. Ia menaruh kembali tasnya, kemudian membuka buku catatan dan bersiap menulis. "Saya ingin tahu semuanya."

"Semuanya?"

"Ya, dari awal sampai akhir." Bram menempelkan ujung pulpennya di atas kertas, bersiap menuliskan semua hal yang membawaku ke saat ini. "Kapan pun Anda siap, Mbak Anjani."

Satu hari terlintas di benakku. Hari yang aku anggap merupakan awal dari semua petaka ini. Hari yang terkesan biasa saja, namun ternyata merupakan titik mula dari kumpulan benang yang merajut perjalanan menuju kematian. Hari di mana aku bertemu dengannya.


Namaku Anjani.

Usiaku 23 tahun.

Aku adalah seorang pelukis.

Tapi, usia dan pekerjaanku sudah tidak penting lagi sekarang.

Sebentar lagi, aku akan meninggalkan semuanya.

Namun, ada satu hal penting yang harus kamu tahu.

Bukan aku yang membunuh anak Presiden.

Lukisan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang