Vol. 1: Senja - 05

2.7K 426 11
                                    

Kedatangan aku dan Senja langsung disambut Arjuna yang berdiri di ambang pintu dengan botol alkohol di tangan kiri dan rokok di tangan kanannya. Senja menggandeng tanganku dan berjalan cepat menghampiri Arjuna.

"Welcome, ladies. Andreas dan Kharisma sudah datang sejak tadi."

Ketika masuk ke dalam rumah, aku dikejutkan dengan banyaknya orang yang datang. Aku mendekatkan wajahku ke telinga Senja, lalu berbisik pelan padanya, "pesta kecil-kecilan, ya?"

"Untuk ukuran Arjuna, ini bisa dibilang kecil-kecilan."

"Harusnya kamu bilang itu di awal. Aku pikir hanya akan ada kita, Andreas, Kharisma, dan beberapa teman dekat."

"Kalau itu, rasanya enggak bisa disebut pesta. Lebih mirip arisan," ucap Senja sambil menahan tawa. Oke, dia tertawa oleh leluconnya sendiri. Tapi, usahanya menahan tawa membuat wajahnya berubah merah, dan itu adalah pemandangan yang sangat menggemaskan. "Kalau di dalam seramai ini, aku yakin halaman belakang bakal lebih sepi."

Senja menarik tanganku, berusaha agar kami tidak terpisah di antara kerumunan orang-orang. Setelah susah payah, akhirnya kami sampai ke pintu belakang. Benar saja, halaman belakang tidak seramai bagian dalam rumah Arjuna. Hanya ada beberapa orang yang berbincang di samping kolam renang. Senja melepas sepatu kets putihnya, lalu menggulung celananya hingga betis. Ia kemudian berlutut dan membantuku melepas sepatu bot hitamku, disusul dengan menggulung celana jin biru langitku.

"Ayo, duduk," ajak Senja yang sudah lebih dulu duduk di kursi yang berada dekat kolam renang. "Bagaimana? Di sini jauh lebih nyaman, bukan?"

"Iya, lumayan."

"Asal kamu tahu, undangan ini datang mendadak. Jadi, secara teknis aku enggak sedang mengerjaimu."

"Seberapa mendadak?"

"Sebentar," Senja memasang wajah berpikir yang berlebihan, membuatku tertawa melihatnya. "Sekitar, dua hari yang lalu?"

"Astaga, Senja! Bagian mana dari dua hari lalu yang mendadak!?"

"Ya, buatmu itu mendadak, kan?" ejek Senja sambil mencubit hidungku. Aku menggerakkan kepalaku agar Senja melepaskan cubitannya, tapi ia tidak mudah ditaklukkan. Ketika aku mengerang kesakitan, barulah Senja buru-buru menghentikan cubitannya. "Ya ampun, Anjani, maaf."

"Aku akan membalasmu, tunggu saja." Balasku dengan muka galak. Senja tertawa dan memajukan wajahnya ke arahku dengan gaya menantang. Bukannya melakukan hal yang sama, aku justru mengambil kesempatan ini untuk menyentil dahinya. Senja terkejut dan melompat kesakitan, sedangkan aku hanya bisa tertawa sambil memegangi perut yang kegelian.

"Enggak adil, kok aku disentil!?"

"Semua adil dalam cinta dan perang, Senja."

Senja yang awalnya mengeluh kesakitan tiba-tiba diam membisu. Ia kembali mendekatkan wajahnya ke arahku, namun ekspresinya jauh berbeda dibandingkan yang sebelumnya. Matanya yang sayu memberikan efek yang lain lagi. Ia berbicara pelan padaku, nyaris berbisik.

"Dalam situasi ini, kita yang mana? Perang atau cinta?"

Meski tak terlihat, aku bisa merasakan wajahku memanas dan berubah merah. Buru-buru aku menghindari tatapan Senja. Ini buruk, sangat buruk. Aku mendengar Senja yang menghela napasnya. Senja duduk di sebelahku, dan untuk beberapa saat tidak ada suara yang keluar di antara kami.

Halaman belakang rumah Arjuna semakin sepi karena tamu yang pulang. Aku melirik arlojiku, sekarang pukul 9 malam. Masih belum begitu larut, tapi kenapa orang-orang sudah pulang, ya? Aku berdiri untuk melihat keadaan di dalam, sedangkan Senja masih belum bergerak dari tempatnya.

"Aku mau ambil minum, mau aku ambilkan juga?"

Tidak ada suara keluar dari Senja, hanya anggukan kecil yang mengiyakan. Senja bahkan tidak menatap wajahku. Aku baru akan berjalan saat tangan Senja menahanku. Ia menggenggam pergelangan tanganku dengan erat, menjagaku agar tetap diam di posisi. Aku menoleh ke arahnya dan langsung dihadapkan dengan wajah Senja yang menatapku dalam. Bibirnya gemetar, tapi ada keyakinan terpancar di matanya. Dengan sedikit terbata-bata, ia pun turut memecahkan puasa bicaranya padaku. "Jangan lama-lama."

"Kamu posesif sekali, ya? Tenang, aku akan langsung kembali secepatnya."

Setelah mendengar responsku, Senja melepaskan genggamannya. Aku bergegas masuk, dan sesuai dugaanku, keadaan di dalam sudah tidak seramai tadi. Aku mengambil dua gelas minuman dan hendak kembali, namun langkahku terhenti saat melihat Arjuna duduk sendirian di sisi lain ruangan, sibuk dengan ponselnya.

"Hai tuan rumah, ada apa?" tanyaku.

"Enggak apa-apa, cuma sedikit kelelahan. Pestanya membosankan, ya?"

"Aku jarang datang ke acara seperti ini, jadi enggak punya hak untuk bicara. Tapi, ya, agak membosankan." Kami berdua tertawa. "Ngomong-ngomong, Andreas dan Kharisma ke mana?"

"Oh, mereka sudah pulang lebih dulu. Tadi mereka sedang mengobrol serius sekali, lalu tiba-tiba mereka pulang begitu saja. Bahkan Andreas baru memberitahuku lewat chat."

"Bertengkar?"

"Dari kelihatannya sih, aku rasa enggak. Aku rasa ada hal penting yang salah satu dari mereka harus lakukan. Tapi, entah lah, aku bukan penjaga mereka."

"Baiklah, kalau begitu aku akan kembali ke belakang. Senja pasti sudah enggak sabar."

"Kamu dan Senja, aku enggak menyangka kalian bisa cepat akrab."

"Apa maksudmu?"

"Meskipun enggak kelihatan, tapi Senja adalah orang yang sulit untuk dihadapi. Selain aku dan Andreas, dia cukup kesulitan untuk mencari teman." Arjuna mengisap rokoknya sambil menatap jendela yang mengarah ke halaman belakang. "Banyak yang terjadi padanya. Sikap ramah dan bersahabat yang kamu lihat saat pameran, mungkin itu cuma satu dari banyaknya lapisan dalam diri Senja."

"Terus? Kamu mau aku menjauh dari Senja?"

"Oh, jangan, apa pun kecuali itu. Aku sendiri senang karena akhirnya Senja punya teman dekat, dia jadi kelihatan lebih bersemangat dibandingkan biasanya. Aku memberitahumu ini supaya kamu enggak kaget ketika berhadapan dengan lapisan lain dalam diri Senja. Itu saja."

"Kelihatannya kamu tahu banyak soal Senja, apa ada sejarah di antara kalian?"

"Bukan sejarah. Kami teman sejak kecil. Orang tua kami dulu dekat, jadi aku dan Senja sudah mengenal sejak masih kecil. Bahkan setelah..." Kata-kata Arjuna terhenti di tengah kalimat. Ia menggeleng lalu memberiku tatapan hangat. "Aku enggak punya hak buat cerita. Kalau Senja memang mau kamu tahu sesuatu tentangnya, dia pasti akan cerita."

Arjuna bangkit dari kursinya dan berjalan ke kerumunan orang-orang yang masih berpesta. Aku tidak akan bohong, kata-kata Arjuna membuatku jadi semakin penasaran soal sosok Senja. Aku merasa jadi sosok angkuh karena menganggap Senja sebagai perempuan riang dan bersahabat yang tak punya beban dalam hidup. Nyatanya, semua orang pasti menjalani kehidupan dengan penuh luka, hasil dari berbagai cobaan hidup yang berhasil dilalui dengan susah payah. Mungkin itu sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan ke sembarang orang, tak peduli apa pun alasannya.

Mataku terpaku di kursi tempat kami duduk sebelumnya. Senja tidak ada di sana. Aku mengecek seluruh halaman belakang dan batang hidungnya tak kunjung terlihat. Sebelum aku masuk untuk mencarinya di dalam, ponselku berdering. Sebuah pesan masuk dari Senja.


Anjani.

Maaf, aku pulang duluan.

Ada urusan mendadak.

Kamu enggak apa-apa, kan, pulang sendiri?

Lukisan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang