Vol. 1: Senja - 09

1.8K 254 1
                                    

Setelah menitipkan kartu mahasiswa ke petugas keamanan asrama, Senja dan aku langsung menuju kamar Kharisma. Kamarnya tidak begitu luas, tapi tetap terasa lega karena tidak banyak barang di dalamnya. Kharisma mempersilakan kami duduk di ranjang, sedangkan ia duduk di meja belajarnya.

"Pertama-tama, maafkan aku karena membuat kalian panik. Tapi, semua baik-baik saja sekarang."

"Iya, soal itu, apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang menguntitmu?"

"Aku enggak yakin siapa, tapi saat itu benar-benar mengerikan. Aku ketakutan bukan main. Beruntung ada seorang pria yang menyelamatkanku. Ia mendatangiku dan menemaniku sampai si penguntit pergi. Aku enggak bisa membayangkan bagaimana nasibku kalau dia enggak muncul saat itu."

"Ah, syukurlah masih ada orang baik di dunia ini," kataku sambil menggenggam erat tangan Kharisma. "Maafkan aku karena enggak bisa jadi salah satu orang baik itu, Khar."

"Sudahlah, kamu enggak salah apa-apa, Njan. Setelah kejadian tadi, aku banyak merefleksikan diri, termasuk soal hal-hal yang aku katakan padamu. Aku sadar kalau apa yang aku katakan akan menyakitimu, tapi aku tetap mengatakannya. Aku merasa lebih buruk karena masih berani meminta tolong setelah mengeluarkan kata-kata menyakitkan itu sebelumnya. Tapi, di situlah aku menyadari sesuatu yang penting. Sampai kapan pun, kamu masih terlalu penting buatku, dan aku menyesal karena sudah mengatakan hal buruk tadi siang."

"Kharisma," aku menarik tubuh Kharisma ke dalam pelukanku. "Jangan minta maaf karena mengutarakan isi hatimu. Aku yang salah karena enggak peka pada orang-orang di sekitarku. Bahkan aku sampai terlambat membaca pesan-pesanmu. Kamu melalui banyak hal dalam beberapa hari terakhir ini, dan seharusnya aku ada di sampingmu untuk membantu meringankan semuanya, bukan malah memperburuk situasi dengan kebodohanku. Maafkan aku, Khar."

Dalam ajang tukar-menukar permintaan maaf yang seolah tak punya akhir, Senja hadir di antara aku dan Kharisma, lalu memeluk kami dengan erat.

"Kalau begini enggak akan selesai. Biar aku jadi penengah yang bijak di antara kalian, oke?" Senja memisahkan aku dan Kharisma, lalu ia menatapku sambil tersenyum. "Anjani, apakah kamu bersedia menerima semua permintaan maaf Kharisma dengan setulus hati, tak peduli apakah kesalahan itu merupakan masalah besar atau kecil buatmu?"

"I-iya, aku bersedia."

"Sekarang, Kharisma," Senja menoleh cepat ke arah Kharisma, masih dengan senyum yang sama. "Apakah kamu bersedia menerima semua permintaan maaf Anjani dengan setulus hati, meskipun perempuan satu ini memang terlalu bodoh untuk menyadari perhatian yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya?"

"Hei, kok yang aku beda, sih!?" keluhku. "Katanya kamu akan menjadi penengah yang bijak?"

"Iya, aku bersedia." Kharisma terkekeh, lalu mengedipkan matanya ke arah Senja. Senja lalu berbalik menatapku, wajahnya berubah serius.

"Apakah kamu merasa aku merupakan penengah yang enggak bijak? Tapi, dari sudut pandang obyektif, kamu jelas-jelas lebih banyak salahnya, Jani."

"T-tapi..."

"Apa kamu keberatan dengan caraku menengahi masalah dua sahabat baik? Kalau begitu, kita bisa menjabarkan kembali alasan kalian minta maaf dan lihat apakah aku sudah menjadi penengah yang bijak atau belum. Semua terserah kalian."

"A-aku..."

"Aku enggak keberatan, karena aku yakin bisa memenangkan perkara ini dengan mudah," Kharisma memasang wajah penuh percaya diri, lalu ia menatapku dan memberikan tatapan yang menantang. "Bagaimana denganmu? Apakah kamu keberatan?"

"Ah, aku enggak suka dinamika kalian," keluhku, disusul dengan tawa yang kompak dari Senja dan Kharisma. Aku mengambil tas di ranjang, lalu memasang wajah cemberut. "Aku mau pulang!"

"Maaf, maaf, tapi mengerjaimu itu sangat mengasyikkan loh, aku enggak sadar," balas Kharisma terkekeh.

"Benar, kan? Dia selalu menunjukkan wajah yang lucu kalau sedang kesal," sambung Senja, yang kemudian mencubit pipiku dengan gemas. "Seperti sekarang ini. Sangat menggemaskan."

"Senja, hentikan. Aku enggak suka."

"Kamu enggak seru, Jani." Senja menjulurkan lidahnya ke arahku, lalu menggenggam tangan Kharisma. "Lebih seru main sama Kharisma, dia enggak ambekan."

"Aku tersanjung, terima kasih Senja."

Aku bisa melihat pipi Kharisma yang memerah karena malu. Sudah lama kami berteman, dan kurasa baru sekarang aku menyadarinya. Kharisma tidak pandai dalam menerima pujian. Bahkan, caranya berterima kasih terdengar tidak wajar. Hal itu semakin menunjukkan kalau Kharisma belum punya cara yang tepat untuk merespons pujian.

"Ah, ngomong-ngomong, pria yang tadi menolongku, dia bukan sekadar orang asing yang baik hati." Kalimat yang keluar dari mulut Kharisma selanjutnya mengundang pertanyaan besar bagi aku dan Senja. Kharisma pun mulai menjelaskan maksud kata-katanya. "Aku lupa menceritakan bagian ini tadi, tapi pria yang menolongku tadi adalah salah satu dari dosenmu, Senja."

"Dosenku?" Senja memasang wajah heran, penasaran dengan dosen mana yang dimaksud oleh Kharisma.

"Kamu juga pernah bertemu dengannya, Njan. Dia adalah orang yang menolongmu saat kamu ambruk di pameran. Kalau enggak salah, namanya Pak Fahrud."

"Mas Fahrud? Kamu yakin?"

"Iya, benar kan dia dosenmu?"

"Iya, dia adalah pembimbing pameran kami waktu itu. Aku enggak begitu kenal, tapi Arjuna cukup dekat dengannya. Mereka sering mengobrol bersama di warung kopi dekat kampus, sambil merokok dengan mahasiswa lain. Aku enggak menyangka kebetulan seperti itu bisa terjadi."

"Ya, terlalu banyak kebetulan terjadi padaku, aku bahkan sudah enggak yakin lagi apa itu kebetulan."

"Aku sangat mengerti maksudmu," balas Senja diselingi senyum tipis. "Kita terlalu jauh dari Tuhan untuk menyebutnya takdir, tapi kebetulan membuatnya terkesan terlalu sederhana. Jadi, mungkin kita terjebak di tengah-tengah, tidak tahu kata apa yang harus digunakan untuk mendefinisikan kejadian-kejadian tersebut."

"Kamu benar," ucap Kharisma, yang langsung menoleh ke arahku. "Sekarang aku mengerti kenapa kamu sangat tertarik padanya."

Kalimat yang keluar dari mulut Kharisma bagaikan serangan tak terduga. Aku menjadi panik dan berusaha mengalihkan pembicaraan, tapi Senja menutup mulutku dengan cepat.

"Aku baru dengar soal ini sekarang. Apakah Anjani suka membicarakan aku di belakang? Apa yang dia katakan padaku?"

"Sebenarnya dia enggak cerita apa-apa, tapi kita berdua tahu kalau wajah Anjani itu bagaikan novel anak. Sangat mudah dibaca dan dipahami."

Senja tertawa saat mendengar perumpamaan Kharisma soal aku, mungkin karena itu adalah perumpamaan paling akurat yang ia dengar tentangku. Senja melepaskan tangannya dariku dan beralih merangkul Kharisma. "You know her very well; I think I can learn a thing or two from you."

"It's gonna be my pleasure."

Hal itu kembali muncul, dinamika menyebalkan yang seolah menyudutkanku. Kalau aku tidak menyayangi mereka berdua dengan sepenuh hati, aku pasti sudah memukul kepala dua orang itu dengan buku paket Kharisma yang tebalnya minta ampun. Tapi, melihat mereka bisa akrab dan tertawa bersama membuat hatiku hangat.

Aku tidak akan bohong, meskipun terpaksa harus berperan jadi korban kerja sama apik mereka, aku senang karena dua orang yang paling aku pedulikan di dunia kini berada di lingkaran yang sama, berteman akrab dan saling bertukar cerita. Aku bersyukur karena semesta memutuskan kalau aku masih berhak untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang, dan aku tidak berencana untuk mengecewakan semesta untuk ke sekian kalinya. Kali ini, aku akan berusaha sekuat tenaga agar apa yang aku miliki sekarang bisa bertahan.

Lukisan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang