"Kamu enggak akan percaya, tapi aku benar-benar merindukanmu, Anjani."
Nadine memberikan pelukan hangat padaku. Hangat tubuhnya saat memberikan pelukan masih belum berubah, membuatku teringat masa lalu. Sudah berapa lama sejak kami terakhir bertemu, ya? Dua tahun?
Terakhir kali aku bertemu Nadine adalah saat kami menggelar pameran seni bersama, dengan Senja sebagai bintang utamanya. Aku ingat betapa suksesnya acara itu, yang tak akan terjadi tanpa peran seseorang seperti Nadine. Sebagai anak Presiden, dia jelas punya banyak keuntungan, dan kami bisa memanfaatkan itu semua dengan sangat baik.
"Bagaimana kabarmu? Ke mana saja kamu selama dua tahun terakhir?"
"Oh, ya, aku masih enggak mengira kalau sudah dua tahun berlalu sejak kita terakhir bertemu." Nadine mengeluarkan sebungkus rokok, lalu menawariku sebatang. Aku tersenyum dan menolak rokok darinya, membuatnya cukup terkejut. "Aku enggak tahu kamu berhenti merokok."
"Ya, banyak hal yang terjadi selama dua tahun terakhir. Tapi, aku mau tahu ceritamu dulu."
"Oke, baiklah. Enggak banyak hal khusus yang terjadi padaku. Hanya kehidupan normal seorang putri Presiden. Ditekan untuk terjun ke dunia politik dan hal-hal lainnya."
"Aku enggak bisa membayangkanmu terjun ke politik. Sepertinya dunia itu enggak cocok denganmu."
"Ya, aku juga berpikir begitu. Tapi, Papaku bersikeras. Dia bilang 'setidaknya kamu coba dulu, kalau enggak suka ya tinggal berhenti'. Kalau dia sudah bilang begitu, aku tahu tekadnya sudah bulat. Melawannya akan jadi usaha yang sia-sia. Jadi, ya, aku sedang belajar banyak sebelum mengumumkan keterlibatanku dalam politik."
"Presiden Nadine Ariestian. Kedengarannya keren."
"Hei! Aku rasa terlalu berlebihan untuk langsung memasang target jadi presiden." Nadine dan aku sama-sama tertawa, membayangkan skenario yang sepertinya terlalu mustahil untuk saat ini. Meski begitu, kita tidak bisa menutup suatu kemungkinan begitu saja. Siapa tahu, Nadine akan benar-benar memimpin negara ini di masa depan.
Tawa Nadine terhenti saat ia melirik perempuan yang mendatangi kami. Aku menoleh ke belakang, dan Senja sedang berjalan cepat ke arah kami. Wajahnya tidak terlihat senang, aku tak tahu kenapa.
"Ah, itu Senja. Ada apa dengannya?"
"Aku juga enggak tahu. Tadi, dia kelihatan baik-baik saja, kok."
Aku baru akan berjalan menghampiri Senja, tapi Nadine tiba-tiba meraih tanganku, menahanku untuk mengambil langkah lagi. Sebelum aku menyadari apa yang terjadi, Nadine menarik tubuhku dan menciumku. Aku yang dibuat syok oleh ciuman mendadak itu tak mampu bereaksi. Nadine melirik ke arah Senja, yang wajahnya berubah merah karena amarah. Langkah cepat berubah menjadi lari, dan Senja berusaha menghentikan pemandangan yang dianggapnya mengerikan itu.
"Aku jadi teringat sesuatu," ujar Nadine lembut. Ia mendekatkan bibirnya ke telingaku, lalu berbisik dengan lirih. "Apakah ini permohonan terakhirmu?"
"Hah? Apa maksudmu? Aku enggak mengerti."
"Kamu ingat kalau aku pernah berjanji akan mengabulkan tiga permohonanmu, kan?"
"Iya, aku ingat. Kamu menjanjikan aku tiga permohonan untuk lukisanku."
"Benar. Jadi, kamu sudah membuat dua permohonan sebelumnya. Kini, tersisa satu lagi. Apakah ini permohonannya?"
"Ini yang kamu maksud itu, apa?"
"Kehidupan yang kamu punya sekarang ini, bukankah menyenangkan?" Nadine memainkan ujung rambutku dengan jemarinya yang lentik. Dalam kebingunganku, Nadine kembali berujar. "Kehidupan yang kamu jalani ini bisa jadi milikmu, loh. Meskipun enggak ada satu pun yang asli di sini."
![](https://img.wattpad.com/cover/254954568-288-k553098.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Senja
Misterio / Suspenso[Pemenang Penghargaan Watty 2021] [+16] Beberapa jam menjelang eksekusi mati, Anjani, seorang pelukis yang dituduh membunuh putri Presiden, mendapat kunjungan tak terduga dari seseorang yang ingin mendengar cerita dari sudut pandangnya. Merasa tidak...