"Setelah ini, kita akan sampai ke hari penting itu, bukan?"
"Iya, hari pameran," jawabku santai. Mataku melirik ke arah jeruji, di mana seorang penjaga tengah menatapku dingin. Aku yakin Bram juga merasakan tatapan dari penjaga itu, tapi ia tidak peduli. Kedatangannya ke sini adalah untuk mendengar cerita melalui sudut pandangku. Tujuannya? Entah, aku pun belum tahu. Dia menjanjikanku banyak hal, tapi sejujurnya saat ini aku hanya butuh teman bicara.
Setelah kematian Kharisma tujuh bulan silam, aku sudah tidak punya teman mengobrol lagi. Nadine bukan orang yang bisa aku ajak bicara semudah itu, karena meskipun kami semakin dekat tiap harinya, kami masih belum berada di zona sahabat. Jadi, selama proses persiapan pameran, aku lebih sering menemui Kharisma di makamnya, bercerita tentang keluh kesah dan hari-hariku padanya. Tapi, karena sekarang mustahil untuk melakukan itu, aku jadi putus asa dan sangat membutuhkan teman bicara. Saat itulah Bram hadir, dengan segala janji yang sejujurnya tidak membuatku tergiur sama sekali.
"Soal Kharisma, maaf karena musibah seperti itu harus menimpamu."
"Terima kasih. Tapi, semua sudah berlalu." Aku mengambil satu batang rokok lagi. Entah sudah berapa batang rokok yang kami habiskan. Di tengah ceritaku tadi, seorang penjaga sempat datang dengan membawa beberapa bungkus rokok untuk aku dan Bram nikmati bersama. Aku memandangi puntung rokok yang menggunung di sampingku. Ini tidak sehat, tapi saat nyawamu berada di ambang kematian, aku rasa kesehatan adalah hal terakhir yang harus dipikirkan. "Sejujurnya, aku merasa lega sekarang, karena sebentar lagi aku bisa bertemu dengan Kharisma."
"Bertemu Kharisma? Maksudmu, dieksekusi mati?" Wajah Bram berubah serius, lalu ia memperbaiki posisi duduknya. "Anjani, apakah hukuman mati itu adalah sesuatu yang kamu nantikan?"
Aku mengangguk pelan, mengiyakan pertanyaan Bram tanpa keraguan sedikit pun. Tak ada gunanya berbohong di saat seperti ini, yang ada aku malah menambah dosa bagi diriku sendiri.
"Ah, begitu rupanya. Tapi, bukankah masih ada hal yang harus kamu lakukan di dunia ini?"
"Aku sudah tidak punya apa-apa, Mas Bram. Selain itu, keberadaanku hanya akan membahayakan semua orang. Aku sudah tidak punya alasan untuk tetap menghirup udara di dunia ini."
"Jadi, kamu menyerah? Kalau misalnya hukuman kamu dibatalkan, apakah kamu akan tetap mengakhiri hidupmu sendiri?"
"Aku rasa tidak, tapi skenario seperti itu kemungkinan terjadinya sangat kecil, bukan? Bahkan nyaris menyentuh angka nol. Daripada mengharapkan sesuatu yang mustahil, lebih baik mempersiapkan apa yang ada di depan mata."
Bram merespons kalimat terakhirku dengan embusan asap rokok. Suasana hening seketika, dan aku pun bingung harus melakukan apa. Aku tidak suka suasana canggung seperti ini, jadi aku berpikir untuk kembali ke cerita. Namun, sebelum aku membuka mulut, terdengar suara nyaring dari pintu jerujiku.
"Bisakah Anda keluar sekarang? Tahanan harus istirahat."
Melihat penjaga yang memukul jeruji dengan pentungan, Bram langsung memasang wajah ketus. Ia menatapku sekejap, kemudian berkata pelan, "tunggu sebentar, ya."
Penjaga baru akan membuka pintu jeruji saat Bram tiba-tiba menarik satu tangan penjaga hingga tubuhnya menabrak jeruji. Bram terus menarik tangan penjaga itu hingga ia mengerang kesakitan sambil berusaha melepaskan genggaman Bram. Namun, usahanya sia-sia karena Bram dengan cepat mengambil borgol dari celana penjaga dan mengikatkan tangan si penjaga dengan jeruji, menguncinya sedemikian rupa hingga ia terjebak dalam posisi yang tidak nyaman. Setelah yakin penjaga itu tidak bisa bergerak, Bram kembali ke arahku, mengambil tasnya, dan mengeluarkan sebuah surat yang kemudian ia tunjukkan pada si penjaga. Penjaga itu membaca surat dengan seksama, kemudian ia berhenti meronta. Bram merogoh kantong si penjaga, mengeluarkan kunci borgol yang kemudian ia berikan pada penjaga tersebut.
"Sekarang, buka borgolmu dan pergi dari sini," perintah Bram dengan lantang. Penjaga itu mengangguk, lalu dengan paniknya ia buru-buru membuka kunci borgolnya. Perubahan ekspresi pada sosok penjaga itu membuatku terpikir, kira-kira surat apa yang ditunjukkan oleh Bram padanya?
Setelah penjaga itu pergi, Bram kembali duduk di kursi, senyum lebar menghiasi wajahnya. Dengan ekspresi seperti orang yang akan menonton bagian klimaks dari sebuah film, ia menyeringai padaku.
"Sepertiyang kamu dengar, waktu kita tidak banyak," ujar Bram, matanya mengunci padaku."Untunglah kita sudah sampai di bagian terakhir dari cerita. Silakan, lanjutkanceritamu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Senja
Mistério / Suspense[Pemenang Penghargaan Watty 2021] [+16] Beberapa jam menjelang eksekusi mati, Anjani, seorang pelukis yang dituduh membunuh putri Presiden, mendapat kunjungan tak terduga dari seseorang yang ingin mendengar cerita dari sudut pandangnya. Merasa tidak...