Vol. 1: Senja - 08

2.3K 301 1
                                    

Aku senang karena sejauh ini, Senja menepati janji-janjinya.

Sudah tiga hari berlalu sejak Senja berkunjung ke tempat tinggalku, dan saat ini ia sudah mengirim empat selfie dirinya. Selain itu, rencananya hari ini kami akan bertemu bersama Arjuna dan Kharisma untuk membicarakan kasus Andreas. Kharisma sudah mendengar soal kejadian itu dari Arjuna, dan hari ini ia mendatangiku untuk memastikan kebenarannya.

"Maafkan aku, Khar, aku harap Arjuna hanya mengada-ada," aku menahan diriku, melihat apakah Kharisma siap menerima semua ini. "Tapi, apa yang dikatakan Arjuna itu benar. Maafkan aku, Khar."

"Kamu enggak perlu minta maaf, ada yang lebih penting sekarang. Apa bajingan itu melukaimu?"

"Aku baik-baik saja, saat itu kebetulan Senja ada di sana dan dia langsung menolongku."

Kharisma memasang ekspresi lega, yang sejujurnya sulit aku percaya. Dia memang orang yang terlalu baik, bahkan di saat seperti ini dia lebih mengkhawatirkan keadaanku. Hal itu membuatku merasa tidak enak.

"Kharisma, kamu enggak apa-apa? Aku mengerti, pasti mengejutkan ketika mengetahui orang yang kamu sukai melakukan hal seperti itu."

"Anjani, kalau aku boleh merasa kecewa? Apakah aku boleh sedikit bersikap egois?"

"Tentu saja, kamu menghabiskan banyak waktu untuk memedulikan orang-orang di sekitarmu. Aku rasa senggak ada salahnya untuk sekali-sekali bersikap egois. Kamu berhak untuk menyayangi dirimu, Khar."

"Kalau begitu, aku mau bilang sesuatu padamu, Njan," Kharisma menatapku dengan mantap. Dari caranya memandangmu, kamu bisa tahu kalau dia sedang menanggung beban yang entah berapa lama lagi sanggup ia tahan. "Aku kecewa pada Andreas, itu benar. Tapi, sejujurnya aku juga kecewa padamu, Njan."

"A-aku?"

"Biarkan aku selesai bicara. Selama ini aku selalu berusaha menjadi teman yang baik buatmu. Segala macam hal sudah aku coba agar aku bisa dilihat sebagai teman olehmu. Tapi, setelah kejadian kemarin, aku kehabisan akal. Aku enggak tahu lagi harus melakukan apa supaya kamu bisa melihatku sebagai teman. Aku menyerah, Njan."

"Kharisma, aku enggak mengerti."

"Aku tahu apa yang terjadi padamu adalah hal yang berat, dan seharusnya aku memahami situasimu. Aku sudah melakukannya, mencoba memahami keadaanmu setelah kejadian yang mengerikan itu. Tapi, kamu memintaku untuk egois, kan? Sekarang, aku sedang menjadi seegois mungkin dengan mengatakan bahwa aku kecewa padamu. Aku sedih karena mendengar bencana yang menimpa temanku dari orang lain, orang yang bahkan enggak aku kenal.

Sekarang, kamu lihat aku. Katakan sejujurnya, siapa yang kamu lihat dalam sosok ini? Apakah aku ini Kharisma, temanmu, atau Kharisma, orang yang selalu mengganggumu? Aku selalu berusaha menjadi teman buatmu, tapi kalau semua usaha itu pada akhirnya hanya berakhir di tempat sampah, lebih baik aku menyerah sebelum terlambat."

Semua luapan emosi yang keluar dari mulut Kharisma bagaikan palu yang menghancurkanku berkeping-keping. Fakta bahwa dia bisa menyampaikan itu semua dengan lancar menunjukkan bahwa dia sudah mempersiapkan ini sejak lama. Kharisma, aku tidak pernah tahu apa yang kamu rasakan, dan bodohnya aku yang tidak pernah meluangkan waktu untuk peduli. Aku terlalu termakan rahasia dan perempuan berambut cokelat sampai-sampai aku melupakan teman dekatku, orang yang berhasil mempertemukanku dengan perempuan paling penting dalam hidupku, dan dia melakukannya tanpa harus berusaha keras. Semua keluhan dan rasa sakit yang berasal dari lubuk hatinya ini terlalu tiba-tiba, membuatku tak mampu bereaksi sama sekali. Bahkan, aku nyaris kehilangan kendali atas keadaan kami. Ketika aku berhasil menenangkan diri dan baru akan memberi respons, Kharisma sudah berada terlalu jauh dari jangkauanku.

Lukisan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang