Lelang telah berakhir, dan lukisan milik Senja, 'Kehilangan', terjual dengan harga dua miliar, menjadikannya lukisan termahal dalam pameran.
Pembelinya?
Nadine Ariestian, putri tunggal Presiden.
Sejak Mas Fahrud memutuskan untuk melelang salah satu lukisan Senja, aku sudah merasa tidak enak. Terlebih, lukisan yang dipilih adalah lukisan yang paling menyakitiku, secara emosional dan fisik. Memang, sejauh ini cuma aku yang bisa merasakan sensasi buruk dari lukisan itu, sedangkan orang lain hanya akan melihatnya hanya sebagai karya seni nan indah dan misterius. Tapi, membayangkan lukisan yang menyimpan banyak keburukan dibawa oleh orang yang tidak aku kenal membuatku tidak nyaman. Jadi, aku mengutarakan permohonan pertamaku pada Nadine. Apa pun yang terjadi, lukisan itu harus menjadi miliknya.
"Aku sempat khawatir kalau alasan dari permohonanmu adalah karena lukisan itu terlalu jelek, dan akan sangat menyedihkan bagi si seniman kalau lukisan itu enggak terjual." Nadine meraba lukisan 'Kehilangan' milik Senja, sedangkan aku hanya bisa mendengarkan sambil menahan mual. "Tapi, lukisan ini indah. Tanpa kamu suruh, pun, aku akan berjuang untuk mendapatkannya."
"Syukurlah, berarti permohonan pertamaku turut menguntungkanmu juga."
"Tapi, semua itu justru membuka pertanyaan baru di benakku," Nadine berjalan mendekatiku, sambil sesekali melirik ke lukisan Senja. "Jadi, kenapa kamu membuat permohonan itu? Kenapa kamu ingin aku memiliki lukisan itu?"
"Aku enggak pernah bilang kalau kamu boleh mempertanyakan permohonanku."
"Tapi, kamu juga enggak pernah melarangku melakukannya."
"Kalau begitu, aku melakukannya sekarang. Kamu enggak bo-"
"Eits," Nadine menempelkan telunjuknya ke bibirku, menahanku untuk mengatakan sesuatu. "Kamu terlambat. Jadi, sebaiknya kamu segera pikirkan jawaban yang akan memuaskanku, atau aku akan menganggap kesepakatan kita selesai di sini."
"Baiklah, aku enggak bisa melarangmu untuk bertanya," aku melangkah mundur, lalu memberikan senyum mengejek pada Nadine. "Tapi aku juga enggak punya kewajiban untuk menjawab, bukan?"
"That's fair," balas Nadine. Ia kembali ke lukisan Senja, lalu meminta penjaganya untuk memasukkannya ke mobil. "Tunggu di mobil saja. Aku mau mengobrol sebentar dengan Anjani."
Penjaga pribadi Nadine mengangguk patuh, dan langsung meninggalkan kami tanpa berkata-kata. Setelah penjaganya keluar dari gedung, Nadine menggandeng tanganku dan menuntunku ke meja berisi camilan dan mengambil dua kaleng soda.
"Jadi, ada apa?" tanyaku sambil menerima kaleng soda yang sudah dibukakan oleh Nadine.
"Lukisan 'Kehilangan' itu, apakah itu sangat berarti buatmu?"
"Ah, itu. Lukisan itu punya temanku."
"Teman? Kamu yakin cuma sekadar teman?"
"Apa maksudmu?"
"Enggak, cuma mau memastikan saja."
Nadine memasukkan tangannya ke mangkuk besar berisi permen dan mengambil beberapa. Permen itu kemudian ia masukkan ke tasnya, kecuali satu butir permen buah. Setelah membuka bungkusnya, Nadine mengecup permen itu beberapa kali sebelum memasukkannya ke mulut. Aku bisa mendengar decaknya saat mengemut permen buah tersebut.
"Jadi, kamu masih punya dua permohonan lagi. Apa yang kamu inginkan?"
"Entah lah, aku masih belum yakin." Aku mengeluarkan ponselku dan memberikannya pada Nadine. "Mungkin untuk sekarang, aku akan memohon untuk bisa mendapatkan kontakmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Senja
Mystery / Thriller[Pemenang Penghargaan Watty 2021] [+16] Beberapa jam menjelang eksekusi mati, Anjani, seorang pelukis yang dituduh membunuh putri Presiden, mendapat kunjungan tak terduga dari seseorang yang ingin mendengar cerita dari sudut pandangnya. Merasa tidak...