"Pernahkah terpikir olehmu, kenapa lukisan Senja membuatmu mual?"
Pertanyaan itu sebenarnya sudah dijawab oleh Nadine sendiri, tapi ia sengaja mengajukan pertanyaan itu lagi untuk meyakinkanku kalau jawabannya masuk akal. Tidak pernah terpikir dalam hidupku kalau ada orang yang menggunakan darahnya untuk melukis, apalagi orang itu adalah Senja. Jadi ketika Nadine mengungkapkan penyebab aku mual, aku kesulitan untuk memercayainya.
"Ya, darah," jawabku lesu. Aku baru saja menerima setumpuk informasi baru yang membuat sakit kepala, dan semua itu ternyata masih permulaan. "Tapi, kenapa darah? Apakah Senja menggunakan darahnya untuk melukis?"
"Sejujurnya, aku enggak yakin kalau itu adalah darahnya."
"Kamu mau bilang kalau Senja menggunakan darah orang lain untuk melukis? Jangan main-main denganku, Nadine." Nadine memberikan tatapan yang membungkamku. Terbesit di kepalaku alasan ia membutuhkan bantuanku. Semua ini bukan lagi soal lukisan mahal yang tercipta dari tangan perempuan muda. Ini mulai mengarah ke obsesi besar seorang seniman dalam menciptakan sebuah mahakarya, hingga ia rela melakukan hal-hal di luar nalar demi mencapainya. "E-enggak, enggak mungkin. Cuma untuk lukisan, apa ada orang yang sampai tega melakukan hal keji seperti itu?"
"Jangan khawatir, ada kemungkinan Senja sendiri enggak tahu kalau cat yang ia gunakan sudah dicampur dengan darah." Nadine mengambil bungkus rokok dan menyodorkan satu batang padaku. Tanpa merespons kata-katanya, aku mengambil satu batang dan membakarnya, berusaha mengeluarkan kepenatan yang bertengger dalam tubuhku selama beberapa menit terakhir. "Meski begitu, bukan berarti kita bisa mencoret nama Senja begitu saja. Aku membutuhkan bantuanmu untuk mengungkap dalang di balik kengerian ini, dan siapa tahu, mungkin dalam prosesnya kamu bisa membersihkan nama Senja."
"Semua yang kamu katakan itu masih sekadar asumsi, kan? Bagaimana kalau seniman yang melakukan itu memang menggunakan darahnya sendiri?"
"Maka kita bisa menutup mata dan telinga kita, berpura-pura kalau semua ini enggak pernah terjadi. Tapi, aku rasa enggak akan sesederhana itu. Bukankah aneh kalau kita bisa enggak menyadari pelakunya kalau dia menggunakan darahnya sendiri selama ini? Kamu sendiri yang bilang kalau kamu sudah merasa mual saat dekat-dekat dengan lukisan Senja, bahkan di hari pertama kalian bertemu."
"A-aku enggak tahu."
"Aku paham, semua ini sangat berat buatmu." Nadine meraih tanganku, lalu jemarinya memijit punggung tanganku dengan lembut. "Kalau aku enggak membutuhkan bantuanmu, aku enggak akan merepotkanmu dengan semua ini. Tapi, aku butuh kamu dan kemampuanmu agar kita bisa membongkar semua ini, sambil berharap kalau Senja enggak terlibat dalam kebusukan yang ada di dalam lukisan-lukisan itu."
"M-maaf, Nadine, aku butuh waktu untuk berpikir."
"Aku mengerti," Nadine berdiri dan mengambil tasnya. "Hubungi aku ketika kamu sudah jauh lebih tenang."
Aku mengangguk lemah, dan Nadine pergi meninggalkanku sendiri. Sebelum meraih pintu, Nadine berbalik dan memanggil namaku.
"Aku cuma mau mengingatkan, kamu masih punya dua permohonan lagi."
Kalimat terakhir dari Nadine mengundang senyum di wajahku. Aku melambaikan tangan dan mengucap selamat tinggal, lalu Nadine keluar dari kafe dan menghilang dari pandanganku. Setelah yakin Nadine tidak akan kembali, aku buru-buru meraih ponsel dan membuka daftar kontakku, mencari satu nama untuk dihubungi. Setelah menemukan nama yang dicari, aku langsung menghubunginya.
"Halo, Kharisma, apa kamu sibuk sekarang? Bolehkah aku menginap di tempatmu malam ini?"
"Aku enggak peduli siapa dia, tapi tuduhannya keterlaluan!" Sudah lima menit berlalu sejak aku menceritakan semuanya pada Kharisma, dan ia masih terus mondar-mandir di depanku sambil mengomentari sikap Nadine yang menurutnya keterlaluan. "Bukan cuma membuatmu bingung dengan banyaknya informasi yang bahkan belum tentu benar, dia juga menuduh Senja sebagai seorang pembunuh. Apa-apaan, sih, dia itu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Senja
Mystery / Thriller[Pemenang Penghargaan Watty 2021] [+16] Beberapa jam menjelang eksekusi mati, Anjani, seorang pelukis yang dituduh membunuh putri Presiden, mendapat kunjungan tak terduga dari seseorang yang ingin mendengar cerita dari sudut pandangnya. Merasa tidak...