Vol. 1: Senja - 13

1.5K 239 1
                                    

"Sudah dua tahun yang lalu, ya? Wah, saya tidak menyangka kalau semua kekacauan ini sudah dipupuk sejak lama sekali."

"Ya, aku juga tidak mengira kalau dua tahun kemudian aku akan berada dipenjara, duduk tenang menanti hukuman mati yang dijatuhkan padaku." Aku mengaduk sup yang diberikan oleh petugas sebelum Bram datang. Aku jadi penasaran, apakah semua kekacauan ini bisa dihindari kalau aku tidak pergi ke toko buku itu? Atau, apakah hidupku akan baik-baik saja kalau aku memutuskan untuk tidak menonton pementasan itu? Toh, aku dengar tahun depan mereka akan melakukan pementasan yang sama lagi.

Andai saja aku tidak pernah berada di gedung itu, mungkin pertemuanku dengan Senja bisa dihindari, dan artinya aku bisa terhindar dari semua kegilaan yang menimpaku setelahnya. Tapi, jika aku tidak bertemu Senja, entah bagaimana jalannya kehidupanku ke depannya. Akan jadi seperti apa aku yang ada di jalur kehidupan tanpa Senja di dalamnya? Lebih baik, atau justru lebih buruk?

Hal yang aku coba pertanyakan adalah, apakah pertemuan dengan Senja meninggalkan kesan yang begitu dalam bagiku? Jika aku diberi kesempatan untuk mengubah pilihan hidupku, apakah aku akan melakukannya?

"Sebelum kita lanjutkan, saya punya pertanyaan." Bram mengambil kursi di meja, membaliknya, lalu duduk di depanku. "Apakah kamu sempat bertemu dengan Senja lagi setelah hari itu?"

"Tidak," jawabku setengah berbisik. Mendengar namanya disebut membuatku teringat pada sosoknya, dan itu hanya membuat hatiku terluka. "Hari itu adalah terakhir kalinya aku bertemu dengan Senja."

"Apakah kamu sempat berkomunikasi dengannya setelah hari itu? Telepon, mungkin?"

"Ia sempat menghubungiku satu kali, tapi detailnya akan aku ceritakan nanti."

"Apakah telepon dari Senja yang akhirnya membuatmu memutuskan untuk melakukan semua itu?"

"Jika yang kamu maksud adalah 'itu', maka jawabannya iya. Aku tidak merasa keberatan untuk mengatakan itu sekarang, karena nasibku sudah diketuk palu. Tidak ada gunanya menyangkal, terlebih kalau itu tidak memberikan keuntungan apa-apa buatku."

"Pertanyaan terakhir, apakah lukisan Ratu Laut Selatan yang kamu lihat di toko buku itu adalah lukisan yang sama seperti yang dibeli oleh anak Presiden?"

"Iya. Lukisan itu yang dibeli olehnya."

"Baiklah, setidaknya saya jadi lebih paham sekarang. Silakan, lanjutkan ceritamu."

Aku meniup sup di sendok, lalu menyeruputnya perlahan. Pikiranku kini sedang mengikuti benang merah yang akan membawaku ke kejadian selanjutnya. Bagaimana rangkaian kejadian selanjutnya akan menuntunku ke lingkaran hitam penuh kejahatan yang pada akhirnya membuatku berakhir di ujung tanduk kehidupanku. Aku melirik Bram yang wajahnya dipenuhi rasa penasaran, dan aku memutuskan tidak akan memberikan cerita ini secara cuma-cuma.

"Sebelum aku melanjutkan, boleh aku minta sesuatu padamu?"

"Tentu saja, apa pun yang kamu minta, selama hal itu masih berada dalam kendali saya, akan saya berikan."

"Bagus. Aku yakin kamu bisa mengabulkan permintaan kecilku ini."

Aku menggenggam mangkuk sup yang masih setengah penuh, lalu mengulurkannya ke hadapan Bram. Secara perlahan aku menumpahkan sup tersebut ke lantai, membuat sup encer itu jadi terlihat seperti air terjun kecil. Bram tidak bereaksi apa-apa melihat tindakanku, seolah dia tahu betul apa yang aku lakukan. Aku menaruh mangkuk yang sekarang kosong ke pangkuanku. Kemudian, aku menunjuk ke kantong celana bagian kiri Bram.

"Kalau kamu tidak keberatan, aku mau merokok."

"Saya sempat khawatir kamu akan meminta hal yang aneh-aneh." Bram merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebungkus rokok dan sebuah korek kayu. Ia mengambil dua batang, lalu membakar kedua batang rokok itu secara bersamaan. Setelah kedua rokoknya menyala, ia memberikan satu batang padaku. "Sekarang, pembicaraan kita bisa lebih seru. Silakan, kapan pun kamu siap."

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan perlahan. Mataku fokus pada kepulan asap yang sedang menjelajah sekitar ruangan dengan aromanya yang khas, berusaha mencari jalan keluar dari penjara ini.

Dengan rokok di tangan, aku membayangkan benang yang ada di telapak tangan tengah menuntunku ke pecahan ingatan selanjutnya dalam kisah yang menarikku ke jalur menuju kematian. Cerita selanjutnya dimulai dari hari terakhir pameran kelompok Arjuna, di mana itu adalah titik balikku sebagai pelukis semi-profesional.

Hari di mana aku bertemu dengan anak presiden untuk pertama kalinya.

Lukisan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang