Semua kisah pasti memiliki awal. Aku rasa semua orang tahu itu. Meski begitu, biasanya tidak banyak yang bisa menunjuk dengan pasti bagian awal dari kisah mereka. Tapi, aku berbeda dari mereka. Aku ingat betul awal mula dari petaka yang perlahan-lahan melahap hidupku dan mengunyahnya sampai hancur.
Dua tahun yang lalu.
17 Februari, malam hari, di luar gedung teater.
Pementasan baru saja selesai, dan ketika orang-orang sedang berkumpul di satu titik untuk berfoto bersama para pemeran, aku memanfaatkan kesempatan itu untuk pergi keluar dan merokok. Aku sadar betapa besarnya pementasan ini ketika melihat banyaknya selebriti yang hadir. Selebriti-selebriti itu bukan bagian dari pementasan itu, tapi ketenarannya sebagai individu membuat mereka tetap menjadi incaran publik.
Aku berdiri di luar gedung bersama orang-orang sepertiku. Pria dan wanita yang tidak tahan dengan pengapnya keramaian dan lebih memilih di luar, menikmati sejuknya angin dingin sambil merokok atau minum kopi. Saat sedang menikmati asap nikotin yang memeluk paru-paru, perhatianku tertarik pada toko buku di seberang jalan. Tanpa berpikir aku langsung berjalan menuju toko itu, meninggalkan keramaian yang tak akan surut untuk beberapa saat ke depan.
Toko buku ini kecil, dan kebanyakan buku-buku yang dijual adalah barang bekas. Buku-buku lama dengan berbagai judul dan genre bertebaran tak beraturan. Buku komik berada di rak yang sama dengan majalah porno, buku pelajaran dan novel-novel misteri berkumpul, dan juga kitab-kitab berbagai agama hadir berdampingan. Toleransi, aku suka.
Seorang pria tua muncul dari bagian dalam toko, menyapaku dengan ketus dan tatapan yang sangat menghakimi. Anak muda banyak gaya yang berlagak mengerti seni, mungkin itu yang terlintas di pikirannya. Memang benar aku tidak begitu mengerti seni, tapi aku tidak akan berpura-pura menjadi seorang ahli seperti orang kebanyakan. Aku sadar apa yang aku miliki, dan berpura-pura memiliki sesuatu yang tidak aku miliki tak akan memberiku kepuasan apa-apa.
"Malam, Mas, saya mau tanya," ucapku cepat, berusaha memotong rangkaian asumsi yang sudah mengakar sampai ke bagian terdalam otak dari si penjual. "Di sini ada buku kamus bahasa Belanda, tidak? Saya membutuhkannya untuk bahan kuliah."
"Sebentar," jawab si penjual dengan nada yang tak berubah. Ia kembali ke belakang, menghilang dari pandanganku. Aku melihat sekeliling lagi. Mataku terpaku pada sebuah lukisan Ratu Laut Selatan yang cantik. Matanya seolah menatapku dalam, menunjukkan kengerian yang bisa dengan mudahnya ia sebarkan ke seluruh Jawa dan Bali. Warna hijau laut dari pakaiannya mengembuskan angin sejuk yang menusuk tulang, dan jujur saja, membuatku sedikit merinding. Aku memicingkan mata, dan barulah tersadar kalau warna hijau pada pakaian Ratu Laut Selatan tidak menggunakan sembarang tinta. Kengerian dan angin yang aku rasakan tadi adalah hasil dari tinta tersebut. Tinta hijau laut yang dicampur dengan air dari pantai selatan, daerah kekuasaan Ratu Laut Selatan. Ada-ada saja orang-orang ini, nyentrik sekali.
"Buku kamusnya tidak ada, Dek." Si penjual keluar dengan tangan kosong. Ia menatapku yang sedang terpaku pada lukisan Ratu Laut Selatan. Kesan ketus yang sedari tadi tergambar jelas dari cara bicaranya perlahan menguap. Ia berdiri di sampingku, turut menatap Ratu Laut Selatan persis di kedua matanya.
"Lukisan ini, berapa harganya?"
"Ini hadiah dari teman saya. Tidak dijual."
"Kalau begitu, sembunyikan di tempat aman. Lukisan ini akan banyak diincar oleh kolektor seni dalam dua tahun ke depan. Harganya bisa jadi selangit. Sebelum waktu itu tiba, sembunyikan dulu lukisan ini. Mas tidak mau lukisan ini dicuri, bukan?"
"Saya pikir kamu cuma anak muda penuh gaya yang berlagak mengerti soal seni. Tapi, sepertinya kamu memang paham karya seni."
"Tidak, kok. Saya memang tidak mengerti seni. Tapi saya bisa melihat lukisan dari sudut pandang yang berbeda dari orang kebanyakan. Anggap saja itu kutukan yang dilimpahkan padaku sejak aku kecil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Senja
Misterio / Suspenso[Pemenang Penghargaan Watty 2021] [+16] Beberapa jam menjelang eksekusi mati, Anjani, seorang pelukis yang dituduh membunuh putri Presiden, mendapat kunjungan tak terduga dari seseorang yang ingin mendengar cerita dari sudut pandangnya. Merasa tidak...