Apa yang terjadi di hari seleksi adalah salah satu momen paling penting dalam hidupku. Pada hari itu, aku dihadapkan dengan kenyataan yang sebelumnya selalu aku doakan, tapi sebenarnya belum bisa aku terima dengan sungguh-sungguh. Mengharapkan sesuatu adalah satu hal, tapi ketika kenyataan datang membawa harapanku, itu hal lain lagi. Kira-kira seperti itulah aku menggambarkan keadaan hatiku saat tahu kalau lukisan yang menebar aura mendiang sahabatku, Kharisma, merupakan hasil tangan Senja, orang yang dulunya aku berada dekat dengan hatiku.
Terakhir kali aku dan Senja berhubungan, aku sangat marah padanya, dan itu membuatku mengharapkan hal buruk terjadi padanya. Bahkan, aku pernah berharap kalau Senja adalah dalang di balik pelukis nyentrik yang menggunakan darah orang lain sebagai cat untuk lukisannya. Sebenarnya, aku tidak benar-benar mengharapkan hal itu. Aku hanya ingin ia merasakan sakit seperti yang aku rasakan, tidak lebih. Aku cuma ingin melihatnya terluka, sama seperti bagaimana ia menyakitiku saat itu.
Namun, harapan itu ternyata menjadi pedang bermata dua untukku. Ketika seluruh bukti yang ada malah membenarkan harapanku dulu, aku justru kehilangan hasrat untuk menyakiti. Aku berusaha mengesampingkan semua bukti dan terus berkata pada diri sendiri kalau orang lain adalah pelakunya. Tapi, semua jadi omong kosong saat lukisan perempuan di ranjang mawar itu terpampang di depanku. Dengan darah Kharisma yang masih segar sebagai pewarna mawar, aku tidak lagi bisa mengelak kenyataan. Pada akhirnya, Senja adalah dalang di balik kegilaan yang terjadi.
Andai Senja tidak pernah melakukan apa yang ia lakukan pada Kharisma, aku mungkin masih terjebak dalam dilema. Meskipun ia telah melakukan hal gila dengan darah manusia, tapi aku tidak akan langsung membencinya begitu saja. Aku akan berusaha memahaminya, sebagaimana ia memahamiku di masa lalu, dan bersama-sama kami akan mencari jalan keluarnya. Ya, aku masih berharap bisa membantu Senja agar kami bisa kembali dekat. Tapi, ia salah mengambil langkah. Apa yang Senja lakukan akhirnya menyadarkanku, dan pada akhirnya aku membuang semua keraguan yang tersisa dalam diri. Kini, aku lebih yakin dari sebelumnya. Aku akan menangkap Senja, membuatnya membayar semua perbuatannya, dan memastikan dirinya hidup dalam penderitaan karena telah merenggut nyawa sahabatku satu-satunya.
"Anjani," panggil Nadine lembut. "Kamu siap?"
"Bukan pertanyaan yang tepat, Nad."
"Baiklah. Kalau begitu, be careful. Bagaimanapun, pameran ini hanya kedok dari tugas berbahaya yang dibebankan pada kita, orang-orang terpilih."
Nadine membuka pintu gedung lebar-lebar, dan kami langsung disambut dengan lukisan-lukisan yang terpampang di setiap bagian ruangan. Di satu sudut, aku melihat ada beberapa lukisan dan sebuah papan dengan nama Mas Fahrud. Seperti dugaanku, tidak ada sosok manusia di lukisannya. Hanya ada pemandangan yang luar biasa indah dan memikat, serta beberapa lukisan tumbuhan. Meski begitu, dalam kesederhanaan objek Mas Fahrud berhasil menemukan keindahan yang tak ternilai harganya. Aku memandangi sekeliling, hingga perhatianku terhenti pada lukisan yang terpampang di ujung ruangan, berada di tengah dan menjadi perhatian utama. Lukisan perempuan dan ranjang mawar milik Senja. Melihatnya saja sudah membuatku kesal, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Menjadikan lukisan itu pemenang adalah bagian dari rencana Nadine.
Setelah semua persiapan akhir selesai, Nadine menuntunku ke sebuah ruangan di lantai dua yang hanya boleh dimasuki oleh petugas dengan izin saja. Di dalam ruangan itu, Nadine telah menyiapkan tim untuk memantau gerak-gerik setiap orang dengan menggunakan kamera pengawas.
"Dengan pengawasan seketat ini, aku yakin kita akan bisa menangkap pelakunya," ujar Nadine dengan percaya diri. Ia melirikku, menyadari ekspresi lesu yang tergambar jelas di wajahku. "Nervous?"
"A little," jawabku pelan. Pada akhirnya, aku akan bisa bertemu lagi dengan Senja, meskipun pertemuan yang sekarang sangat tidak ideal. Pertemuan kami nanti tidak akan meliputi pelukan atau bahkan sekadar sapaan. Keadaan akan berbeda, tidak ada lagi kedekatan yang patut diperjuangkan di antara kami. Aku dan Senja memiliki tujuan masing-masing, yang pada akhirnya membuat benang takdir kami kembali bersilang. "Aku enggak sabar untuk menemuinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Senja
Mystère / Thriller[Pemenang Penghargaan Watty 2021] [+16] Beberapa jam menjelang eksekusi mati, Anjani, seorang pelukis yang dituduh membunuh putri Presiden, mendapat kunjungan tak terduga dari seseorang yang ingin mendengar cerita dari sudut pandangnya. Merasa tidak...