"Aku enggak tahu kalau mempersiapkan pameran itu sebegitu sulitnya. Maksudku, aku yakin kalau itu enggak mudah, tapi ternyata permasalahan yang bisa timbul dalam persiapan bisa seheboh itu, ya."
"Iya, aku beberapa kali bertengkar dengan Senja dan Andreas," jawab Arjuna santai. Ia menyesap kopinya, lalu memindai ruangan kafe. "Aku rasa tempat ini bisa jadi ruang pameran yang bagus."
"You think so?" aku turut menatap seluruh ruangan. Kafe ini menerapkan konsep minimalis, dengan hanya menggunakan tiga warna untuk ruangannya. Putih, hitam, dan abu-abu. Selain itu, tidak banyak pajangan di kafe ini, membuat seluruh ruangan terasa lebih luas dari seharusnya. Aku yakin Kharisma akan menyukai kafe ini.
"Tempat ini sepertinya cocok untuk pameran selanjutnya."
"Akan ada pameran selanjutnya?"
"Iya, kami akan mengadakan empat pameran. Karya kami akan memimpin tiga pameran pertama, sedangkan di pameran keempat kami akan melelang karya-karya terbaik kami. Di pameran sebelumnya, aku yang memimpin pameran, karena itulah kebanyakan karya di pameran kemarin adalah milikku. Rencananya, pameran kedua adalah bagiannya Andreas, tapi kamu tahu apa yang terjadi."
"Jadi, karena itu Mas Fahrud bilang kalau situasinya buruk?"
"Mungkin. Sejak rencana pameran ini dicetuskan, aku enggak banyak bicara dengan Mas Fahrud. Ia lebih banyak mengobrol dengan Andreas dan Senja, aku rasa karena ini adalah pameran pertama mereka, jadi mereka lebih membutuhkan bimbingan dibanding aku."
"Tunggu dulu, yang kemarin itu bukan pameran pertamamu!?"
"Aku pernah terlibat dalam pameran di Melbourne dan Seoul, jadi ya, pameran kemarin bukan yang pertama buatku."
"Kenapa aku baru mendengar ini sekarang? Kamu hebat sekali, Jun! Pantas saja karya-karyamu kelihatan berbeda. Aku merasakan ada angin asing di goresan-goresan dalam lukisanmu. Ternyata ada pengaruh angin Melbourne dan Seoul di sana."
"Angin dalam goresan? Kamu sedang bicara apa, sih?"
"Ah, e-enggak, lupakan. Jadi, apa aku bisa bilang kalau kamu sudah menjadi pelukis profesional?"
"Aku masih jauh dari profesional, tapi bisa dibilang aku punya pengalaman dan pengetahuan yang sedikit lebih banyak dibanding dua teman kelompokku."
"Ah, begitu. Lalu, apa yang akan kalian lakukan untuk pameran kedua?"
"Sejujurnya, aku juga belum tahu. Mas Fahrud sempat mencetuskan ide untuk mencari lukisan dari berbagai seniman dan memberi jatah Andreas pada seniman-seniman yang belum beruntung itu. Lalu, karya yang mendapatkan pujian paling banyak akan dilelang di pameran keempat bersamaan dengan karya-karya lain."
"Ah, sepertinya itu bukan ide yang buruk."
"Tapi, aku enggak tahu bagaimana perkembangannya. Semoga saja enggak ada perubahan mendadak dari Mas Fahrud, meskipun dia memang bukan tipikal orang yang suka mengubah rencana tiba-tiba, sih."
"Still, better safe than sorry."
Ponsel Arjuna berdering, dan setelah ia membaca pesan yang didapatnya, ia menunjukkan ponselnya padaku. "Ini dari Senja. Mas Fahrud sudah pulang, dia memintaku kembali."
"Sepertinya aku mau pulang saja," jawabku lemah. "Maksudku benar-benar pulang. Tadi Senja menyuruhku pulang, jadi aku akan menurutinya. Toh, dia janji akan menjelaskan semuanya nanti, jadi enggak ada alasan untuk buru-buru menemuinya."
"Kamu yakin?"
"Sejujurnya, enggak," aku berdiri dan menyalami Arjuna. "Tapi, aku sedang berusaha untuk enggak bersikap egois dan melakukan sesuatu hanya berdasarkan pada kebutuhanku saja. Jadi, meskipun enggak mudah, aku akan berusaha melakukan sesuatu yang bisa membantu Senja saat ini."

KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Senja
Misteri / Thriller[Pemenang Penghargaan Watty 2021] [+16] Beberapa jam menjelang eksekusi mati, Anjani, seorang pelukis yang dituduh membunuh putri Presiden, mendapat kunjungan tak terduga dari seseorang yang ingin mendengar cerita dari sudut pandangnya. Merasa tidak...