Vol. 1: Senja - 03

4.2K 544 4
                                    

"Tadi aku terjebak macet, dan karena lapar aku memutuskan untuk ke sini dulu. Aku enggak menyangka kalau Andreas juga ada di sini."

Gaya bicara Senja yang lembut dan bersahabat membuat semua orang jadi merasa mudah akrab dengannya. Ia memiliki aura yang cerah, dan itu membuat kecantikannya meningkat drastis. Saat ia, Kharisma, dan Andreas sedang menikmati obrolan, aku di sini hanya mampu diam terpaku menatap matanya yang sayu.

"Anjani, jangan bengong terus, dong!" Kharisma memukul meja di depanku, mengembalikanku ke dunia nyata secara paksa. "Dari tadi Senja nanya, bukannya dijawab malah bengong."

"Ah, m-maaf. Tadi Senja tanya apa?"

Senja tertawa kecil, lalu kembali menyampaikan pertanyaannya padaku. "Aku yakin kita pernah bertemu sebelumnya. Kamu ingat enggak?"

"Pementasan teater," jawabku cepat, bahkan terlalu cepat. "Kamu datang menjemput temanmu yang sedang merokok. Aku ada di sana saat itu."

"Oh, aku ingat! Pantas saja wajahmu terlihat tidak asing. Kamu suka pementasan itu?"

"Lumayan. Aku suka dengan orang yang memerankan ibu guru. Meskipun cuma muncul sebentar, penampilannya meninggalkan kesan yang dalam buatku."

"Terima kasih pujiannya," jawab Senja tersipu. Aku mengernyitkan dahi, mencoba memahami reaksinya. Saat itulah aku tersadar dari mana aku pernah melihat wajahnya. Dia adalah orang yang memerankan ibu guru di pementasan itu. Bodohnya kamu, Anjani. Kamu menghabiskan waktu berbulan-bulan memikirkan dari mana kamu pernah melihat wajahnya, ketika ternyata pertama kali itu muncul tak lama sebelum pertemuan kedua terjadi. Astaga, kadang aku kagum dengan kebodohanku sendiri ini.

"Iya, sama-sama." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Aku benar-benar merasa aneh hari ini. "Ngomong-ngomong, bukannya kamu harus ke pameran, ya? Aku dengar dari Andreas kalau orang-orang tengah menunggu kedatanganmu."

"Andreas ini memang suka berlebihan kalau bicara." Senja memukul pundak Andreas sambil tertawa. "Tapi, kamu benar, aku harus ke pameran sekarang. Bukankah kalian juga akan kembali?"

"Iya, kami akan ke sana sebentar lagi," ujar Kharisma. Matanya sedikit melirik ke Andreas. Aku merasa tidak enak pada Kharisma. Seharusnya saat ini bisa ia gunakan untuk mengenal Andreas lebih dalam, tapi kehadiranku dan Senja malah mengacaukan semuanya.

"Tapi aku malas kalau pergi ke sana sendirian," balas Senja ketus. Dalam waktu singkat, ia melingkarkan tangannya di tanganku. "Kalau begitu, Anjani temani aku, ya!"

"E-eh, k-kenapa tiba-tiba!?"

"Sudah, ayo temani aku. Aku mau dengar soal pementasan itu lebih banyak lagi!" Senja menarikku paksa, lalu ia melambai pada Kharisma dan Andreas yang ditinggal dalam keadaan canggung. "Sampai ketemu di sana, ya!"

Senja menuntunku ke mobilnya, dan setelah kami berdua masuk, aku menatapnya dengan tanda tanya tergambar jelas di wajahku. Senja membalas tatapanku dengan ekspresi jahil.

"Bukankah sebaiknya kita memberi mereka waktu untuk berduaan? Keberadaan kita hanya akan membuat suasana jadi tidak nyaman. Kamu setuju kan, Anjani?"

"Iya, aku setuju," jawabku pelan.

Tak hanya ramah dan bersahabat, Senja juga nyatanya orang yang peka pada keadaan sekitar. Jujur saja, itu membuatku jadi semakin penasaran pada siapa sosok Senja sesungguhnya. Sejauh ini, aku sudah dibuat kagum dengan ketertarikannya yang dalam soal seni. Bukan cuma itu, dia juga ternyata orang yang sangat bersahabat, ramah, dan cerah. Dalam waktu yang cukup singkat, aku sudah disuguhkan oleh banyaknya kelebihan yang terasa sedikit mustahil untuk dimiliki oleh satu manusia. Apakah mungkin Senja terlahir ketika Tuhan sedang merasa sangat bahagia? Jawaban dari pertanyaan itu, mungkin hanya Tuhan sendiri yang tahu.

Lukisan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang