"Maaf membuatmu khawatir."
Kalimat itu akhirnya yang menjadi pemecah kesunyian di antara aku dan Senja. Setelah lama tak mendapat kabar darinya—sampai-sampai aku harus mendatangi kampus tempatnya berkuliah, pada akhirnya kini aku kembali bertemu dengan Senja. Rasa senang karena semua terlihat baik-baik saja seketika sirna saat aku melihat wajah perempuan berambut cokelat itu.
Meski ia sempat dirawat di rumah sakit karena kecelakaan, aku merasa kondisinya saat ini jauh lebih buruk dibandingkan saat terakhir aku bertemu dengannya. Tubuhnya jauh lebih kurus, dan lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan kalau ia kurang tidur. Ia pun beberapa kali kehilangan fokus, hanya menatap ke depan tanpa benar-benar melihat.
"Kamu enggak apa-apa, Nja?" tanyaku, yang dibalas dengan senyum lelah oleh Senja. "Kalau kamu sedang enggak enak badan, seharusnya kita enggak perlu ketemu dulu."
"Enggak, aku baik-baik saja, kok. Aku harus bertemu denganmu, karena ada janji yang harus aku tepati."
Aku berusaha mengingat-ingat janji apa yang dimaksud olehnya, memikirkan apakah janji itu benar-benar sepenting itu sampai-sampai ia rela menemuiku meski kondisi fisiknya terlihat sangat buruk. Sejauh ini, aku tidak menemukan janji yang sebegitu mendesaknya.
Senja kini berpindah duduk di sebelahku. Jemarinya yang kurus menggenggam tanganku dengan lembut. Aku baru sadar, selain kurus, tangannya penuh luka. Apa yang sebenarnya terjadi pada Senja dalam kurun waktu sesingkat itu? Aku mengusap pipinya, berusaha menarik perhatian Senja yang lagi-lagi teralihkan.
"Senja, lukamu..." Senja buru-buru melepaskan genggaman tangannya, lalu berusaha menyembunyikan punggung tangannya di dalam lengan sweter jingga yang ia kenakan. "Kamu benar enggak apa-apa? Apa ada orang yang menyakitimu?"
"Aku enggak apa-apa, Anjani."
"Kenapa di saat seperti ini kamu masih berani bohong? Ayolah, Nja, kamu bisa percaya padaku."
"Aku bisa, tapi sejujurnya aku enggak tahu apakah aku ingin."
Bersamaan dengan keluarnya jawaban itu, Senja melingkarkan tangannya ke punggungku, memberiku pelukan hangat yang aku rasa sangat ia butuh kan sekarang. Aku membalas pelukannya, dan sekilas aku mendengar Senja terisak, tapi saat aku ingin melihat wajahnya, ia memelukku dengan lebih erat.
"Jangan dulu, wajahku sedang jelek."
"Aku enggak peduli dengan wajahmu. Apa kamu sedang menangis?"
"Aku dengar menangis itu sehat. Enggak apa-apa kan, menangis tanpa alasan?"
"Iya, benar. Tapi, aku rasa kamu enggak sedang menangis tanpa alasan." Aku mendorong Senja perlahan, melepaskan pelukannya selembut mungkin. Kini, aku sedang menatap Senja yang menunduk, menutupi wajah dengan rambut cokelatnya. Jemariku bergerak menyentuh rambut Senja, lalu menyisirnya ke samping, memberiku pemandangan wajah Senja yang berlinang air mata. "Kamu hanya belum bisa memercayakan rahasiamu padaku, benar kan?"
Ada jeda beberapa detik sebelum Senja mengangguk lemah. Tapi, aku tidak percaya pada anggukannya. Aku tahu dia bohong, karena matanya menunjukkan kesedihan, perasaan ingin lepas dan menentang kata-kataku. Dari matanya, aku tahu kalau dia tidak setuju pada apa yang baru saja aku katakan. Aku percaya padamu, mungkin itu kira-kira kalimat yang tergambar di matanya. Tapi, ada sesuatu yang membuat dirinya menahan diri, tak mampu mengatakan isi hati yang sebenarnya. Apa pun itu, aku rasa itu ada hubungannya denganku.
"Sudah aku duga, ternyata aku belum berhasil meraih kepercayaanmu." Aku menghela napas, berpura-pura memahami jawabannya, meskipun kami berdua tahu kalau itu juga suatu kebohongan. Meski belum lama, aku tahu Senja adalah orang yang peka, jadi aku yakin Senja bisa menangkap makna sebenarnya dari reaksiku. "Jadi, janji apa yang coba kamu tepati?"
![](https://img.wattpad.com/cover/254954568-288-k553098.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Senja
Mystery / Thriller[Pemenang Penghargaan Watty 2021] [+16] Beberapa jam menjelang eksekusi mati, Anjani, seorang pelukis yang dituduh membunuh putri Presiden, mendapat kunjungan tak terduga dari seseorang yang ingin mendengar cerita dari sudut pandangnya. Merasa tidak...