Vol. 1: Senja - 04

3.5K 474 8
                                    

Wah, ternyata pameran ini berlangsung lebih lama dari dugaan awal kami semua. Sekarang sudah pukul setengah sebelas malam, dan gedung pameran masih terhitung ramai. Seharusnya pameran ini tutup pukul sepuluh, namun karena antusiasme tamu yang hadir, mereka memutuskan untuk membuka pameran sedikit lebih lama. Aku dan Kharisma masih menunggu di luar, dengan asap rokok sebagai tamu tambahan di antara kami.

Tadi, Kharisma berlari ke mobil untuk mengambil roti yang dibelinya. Ia memberikan roti itu pada Andreas, dan berpesan padanya untuk juga membagikannya dengan Arjuna dan Senja. Tentu saja ia sudah menyisihkan beberapa potong untuk kami berdua. Aku memakan roti itu terlebih dulu karena memang sudah lapar, sedangkan Kharisma baru mulai makan setelah memberikan jatah roti untuk yang lain.

Pukul sebelas lebih sembilan menit, pameran baru resmi ditutup. Arjuna adalah orang pertama yang keluar, dan tanpa buang waktu ia langsung membakar rokok. Selanjutnya, Andreas muncul dan duduk di sebelah Kharisma, meminta maaf karena harus membuatnya menunggu selarut ini. Kharisma tidak mempermasalahkan hal itu dan malah melayangkan pujian bertubi-tubi atas kesuksesan pameran mereka.

Terakhir, dan paling lama muncul, adalah Senja. Ia baru keluar gedung pukul setengah dua belas malam. Meskipun keluar dengan senyum yang cerah, matanya tidak mampu menipu siapa pun. Ia sangat kelelahan. Aku bisa mengerti, sih. Menghadapi banyak orang yang saling berebut bicara selama beberapa jam non-stop pasti melelahkan. Namun, kegigihan Senja patut diacungi jempol. Tidak sekali pun aku mendengar keluhannya. Ia terlihat menikmati setiap detik yang berlalu di dalam gedung, dan selain kelelahan secara fisik, ia merasa baik-baik saja.

"Kalau sudah jam segini, sepertinya tempat makan yang buka cuma restoran cepat saji. Kalian enggak masalah makan makanan cepat saji?" tanya Arjuna sambil mencari restoran terdekat di ponselnya. "Iya, enggak ada lagi yang buka."

"Aku enggak masalah, sih. Toh, yang penting kan makan barengnya." Andreas merogoh kantongnya untuk mengambil kunci mobil. "Buat Arjuna dan Senja, kita pakai mobilku saja, ya."

"Loh, memang mobil yang lain kenapa?" tanya Kharisma.

"Kami harus kembali ke sini lagi untuk beres-beres. Kalau bawa tiga mobil, rasanya merepotkan."

"Kalau begitu, kita bawa mobilku saja."

"Enggak bisa, Khar. Kamu dan Anjani harus langsung pulang setelah makan malam. Kami enggak bisa membuatmu kembali ke sini lagi."

"Tapi—"

"Sudah, enggak apa-apa, Khar." Andreas menggenggam pergelangan tangan Kharisma dengan lembut, lalu ia berdiri dan memimpin kami ke parkir mobil.

Aku menoleh ke arah Senja, yang sejak tadi tak banyak bicara. Mungkin dia sangat kelelahan, sampai sudah kehabisan tenaga untuk sekadar mengobrol. Tapi, ada sesuatu dari Senja yang membuatku tidak nyaman. Mungkin ini perasaanku saja, tapi Senja seperti orang yang berbeda sekarang. Selain matanya yang kelelahan, ekspresi wajahnya sekosong gua. Berbeda dengan tadi sore, sekarang Senja memiliki aura yang seolah menuntut jarak. Jika kita menggambarkan Senja sebagai magnet, maka saat ini ia menjadi magnet dengan kutub yang sama dengan semua orang. Ada kesan penolakan yang kuat, yang aku rasa tidak ia sadari.

Ketika kami sampai di restoran cepat saji, semua terlalu lelah untuk mengantre. Aku akhirnya menawarkan diri untuk mengantre dan memesan makanan. Setelah mencatat semua pesanan di ponsel, aku bergegas menuju bagian pemesanan. Karena hari ini hari Minggu, antreannya memang tidak begitu panjang. Aku sedang membaca menu di atas ketika seseorang menepuk punggungku. Aku menoleh ke arahnya, dan perempuan berambut cokelat itu menyunggingkan senyum jahil padaku.

"Untung kamu belum pesan. Aku mau ganti pesanan."

"Mau ganti apa?"

"Hm, apa ya?" Senja menunjukkan raut berpikir yang lucu. Matanya terpaku pada menu, hingga akhirnya ia menggelengkan kepalanya dan berkata padaku. "Enggak tahu. Kamu mau pesan apa?"

Lukisan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang