"Anjani, kok malah bengong, sih!?"
Aku tersentak, terkejut karena perempuan di sebelahku tiba-tiba memukul pundakku tanpa alasan. Ia memandangiku dengan ekspresi ketus yang sejujurnya, malah membuatku gemas. "Aku tanya dari tadi, bukannya jawab, kamu malah bengong."
Ada perasaan aneh di dalam tubuhku. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa sangat merindukan sosok perempuan di depanku. Tak memedulikan ocehannya, aku langsung memeluknya dengan erat, seperti orang yang takut ditinggalkan. Perempuan itu membalas pelukanku, meski ia sendiri tidak yakin dalam rangka apa kami berpelukan.
"Enggak biasanya kamu begini. Pasti ada maunya, ya?"
"Memangnya aku enggak boleh sesekali melakukan ini? Toh, aku yakin kamu juga senang, kan?"
"Ya, enggak ada yang bilang kalau aku enggak suka, sih." Pelan-pelan, ia mulai melepaskan diri dari pelukanku, membuatku sedikit merasa kecewa. Senyum kecil tergambar di wajahnya. "Jadi, kamu mau apa?"
Aku akan mengakui sesuatu, senyum perempuan ini sangat menular. Sekali kamu melihatnya, kamu tak akan bisa menahan diri untuk ikut tersenyum. Aku tidak masalah dengan itu, selama aku bisa terus melihat senyumnya.
"Aku mau es krim," pintaku dengan nada memelas. "Aku mau es krim di minimarket."
"Baiklah, Tuan Putri. Kamu mau es krim apa?"
"Tunggu, kamu mau beli sendiri?"
"Lebih efisien kalau aku pergi sendiri. Kamu masih harus menyiapkan banyak hal. Kita enggak boleh terlambat loh, Jani."
"I know," balasku lesu. Entah kenapa, hari ini aku sangat tidak mau berada jauh darinya. Biasanya, aku tidak manja seperti ini. Toh, tak jarang kami sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi, untuk alasan yang tidak aku ketahui, hari ini aku sangat tidak bisa jauh darinya. Pertanyaan yang terlintas di kepalaku sekarang adalah, apakah aku akan bilang langsung padanya? Ya, aku rasa tidak perlu. Aku sangat mengenalnya. Dia adalah perempuan yang sangat peka, jadi aku tidak perlu repot-repot menyampaikan secara gamblang isi hatiku, karena di hadapannya aku bagaikan koran yang mudah dibaca. Hari ini pun sama, semua terbaca dengan mudah.
"Alright, fine." Dia mengulurkan tangannya, menarikku berdiri. Ia melingkarkan tangannya ke belakangku, lalu kami berjalan bersama keluar dari kamar kosku. Aku menatap wajahnya, yang tiba-tiba menjulurkan lidah dan mengejekku. "Dasar manja."
"Biarin!"
Hari ini mungkin terasa berbeda bagiku, tapi hal itu tidak boleh menjadi penghalang buatku turut merayakan hari ini. Segala persiapan sudah dilakukan, dan hari ini harus berjalan seindah yang ada di bayanganku. Pernikahan ini spesial, dan aku tidak bisa membiarkan sedikit keresahan mengacaukan segalanya.
Kami menyusuri jalan menuju minimarket terdekat untuk membeli es krim yang aku inginkan. Sebenarnya, aku tidak begitu ingin es krim, aku cuma ingin waktu berdua dengannya saja. Menikmati jalan-jalan pagi sebelum kembali mempersiapkan diri menjelang pernikahan. Kalau aku boleh jujur, aku sangat merindukan ini. Sudah cukup lama kami tidak pergi jalan-jalan bersama. Rasanya menyenangkan, menghabiskan waktu bersama orang yang penting di hidupku. Dia, yang genggaman tangannya selalu membawa kehangatan tersendiri. Rambut cokelatnya terurai dengan anggun, menambah kesan manis dari pipinya yang merona.
Ah!
Untuk sesaat, dadaku tiba-tiba terasa sesak, dan fokusku jadi buyar. Tadi, ada sesuatu yang sempat terlintas di kepalaku, yang langsung diikuti dengan rasa sakit di dada. Aku memperkecil langkah, dan perempuan di sebelahku turut berhenti. "Jani, kamu enggak apa-apa?"
"E-enggak apa-apa, kok."
Apa itu tadi? Aku tidak bisa ingat apa yang muncul di pikiranku karena reaksi yang muncul setelahnya, tapi aku rasa itu hal yang penting. Aduh, kenapa aku tidak bisa mengingatnya sama sekali, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Senja
Bí ẩn / Giật gân[Pemenang Penghargaan Watty 2021] [+16] Beberapa jam menjelang eksekusi mati, Anjani, seorang pelukis yang dituduh membunuh putri Presiden, mendapat kunjungan tak terduga dari seseorang yang ingin mendengar cerita dari sudut pandangnya. Merasa tidak...