Sesampainya kami di kamar kosku, aku baru menyadari kalau ini bukan ide yang bagus. Keadaan masih sama canggungnya seperti di kamar mandi mal, dan bahkan lebih buruk. Aku mempersilakan Senja untuk duduk di ranjangku, sedangkan aku buru-buru ganti pakaian di kamar mandi, membersihkan bekas muntah yang menempel di bajuku.
Dibatasi oleh pintu kamar mandi, aku duduk di lantai dan menangis dengan suara sekecil mungkin. Aku bahkan menyalakan keran air untuk membantu menyamarkan suara tangisanku. Namun, pada akhirnya semua jadi sia-sia karena Senja tahu betul apa yang sedang aku lakukan di dalam.
Pintu kamar mandi diketuk pelan, dan meskipun tidak terlihat, aku tahu kalau Senja sedang bersandar di sisi lain pintu. Aku menahan isak tangis, kemudian menyandarkan kepalaku di pintu.
"Anjani," panggil Senja. "Aku mau minta maaf. Aku dan Arjuna minta maaf atas apa yang Andreas lakukan padamu."
"Senja, kamu enggak perlu minta maaf." Aku memeluk kedua kakiku, bayang-bayang soal apa yang terjadi di toko buku kembali muncul dengan jelas. Aku menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. "Kamu dan Arjuna enggak salah apa-apa, kok."
"Enggak, kami jelas-jelas salah. Bagaimanapun, Andreas adalah teman kami, jadi kami harus bertanggung jawab atas perbuatannya ke kamu dan Kharisma." Senja diam sejenak, lalu kembali melanjutkan dengan suara lebih pelan. "Ngomong-ngomong soal Kharisma, saat ini Arjuna sedang menghubunginya. Kalau kamu mengizinkan, kami mau minta maaf langsung padanya juga."
"Apa yang dilakukan Andreas adalah keputusannya sendiri, kalian enggak perlu menanggung dosanya. Selain itu, aku yakin Kharisma pasti mengerti, selama kalian menjelaskannya dengan baik."
Aku berharap jawabanku akan melegakan hati perempuan di sisi lain pintu, tapi aku tahu kalau ada hal lain yang masih mengganggunya. Akhirnya, Senja kembali berujar, kini dengan suara yang terbata-bata, seperti orang menahan tangis.
"A-aku juga mau minta maaf... soal semuanya."
"Soal kamu yang tiba-tiba menghilang dan enggak bisa dihubungi?"
"Iya. Maafkan aku, Jani."
"Wow, aneh, tapi aku suka."
"Apa maksudmu?"
"Belum pernah ada orang yang memanggilku Jani, biasanya mereka memanggil Njan atau An." Seberkas senyum menyelinap keluar dari wajahku, senyum yang belakangan ini tidak pernah lagi menemui dunia luar. "Kedengarannya aneh, mungkin karena baru pertama kali kudengar. Tapi, nanti pasti terbiasa."
"Kalau begitu, aku akan membuatmu terbiasa, Jani." Suara Senja terdengar lebih tenang. "Aku minta maaf karena menghilang dan enggak bisa dihubungi. Aku enggak punya pembelaan apa-apa."
"Aku juga enggak mencari pembelaan atau alasan darimu. Apa yang terjadi, sudah terjadi. Sekarang bukan waktunya menyesali masa lalu, tapi memperbaiki apa yang sudah ditinggalkan olehnya." Aku menghela napas panjang, kemudian berbalik dan mendekatkan bibirku ke pintu. "Kalau kamu janji enggak akan mengulangi hal seperti itu lagi, aku akan memaafkanmu."
Tidak ada jawaban dari Senja, dan ketakutanku kembali muncul ke permukaan. Apakah dia tiba-tiba pergi lagi? Setelah meminta maaf dan menyesal atas perbuatannya, dia masih berani melakukannya lagi!? Aku buru-buru berdiri dan membuka pintu kamar mandi, tidak menyadari kalau Senja masih ada di sini, menatapku dengan air mata mengalir deras di pipinya. Senja berjalan cepat ke arahku dan memelukku dengan erat.
Dalam pelukannya, aku bisa merasakan detak jantung Senja yang cepat. Aku tidak tahu apa artinya itu, tapi aku pun merasakan hal yang sama. Bahkan, jantung kami berdetak dalam kecepatan yang hampir sama. Aku mengelus rambut Senja yang lembut, sambil menepuk punggungnya perlahan. Suara isak tangis Senja terdengar nyaring di kamar kos yang sempit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Senja
Mistero / Thriller[Pemenang Penghargaan Watty 2021] [+16] Beberapa jam menjelang eksekusi mati, Anjani, seorang pelukis yang dituduh membunuh putri Presiden, mendapat kunjungan tak terduga dari seseorang yang ingin mendengar cerita dari sudut pandangnya. Merasa tidak...