Vol. 1: Senja - 10

2K 232 2
                                    

Tidak ingin bermalam, Senja dan aku akhirnya pamit pulang pada Kharisma sambil berjanji untuk bertemu dan berkumpul bersama lagi di lain hari. Kami sepakat untuk berkumpul di kamar kosku di pertemuan selanjutnya. Aku tidak akan bohong, aku sangat bersemangat dan tidak sabar untuk bisa mengobrol bertiga lagi.

Dalam perjalanan menuju kamar kosku, Senja secara mengejutkan tidak banyak bicara. Aku memancingnya beberapa kali, tapi ia memberikan respons singkat dalam satu kalimat. Dia tidak balik bertanya atau sekadar memberi reaksi tambahan. Ia hanya menjawab pertanyaanku dengan datar, membuatku kebingungan sendiri. Akhirnya perjalanan pulang kami terasa canggung, atau mungkin hanya aku yang merasa demikian.

"Jani," panggil Senja, akhirnya membuka obrolan untuk pertama kali sejak kami masuk ke mobil. "Soal Kharisma, bagaimana perasaanmu sekarang?"

"Ya, aku bersyukur pertemanan kami masih bertahan, dan semoga saja aku bisa menjadi teman yang lebih baik untuknya."

"Oh, begitu."

Tidak ada respons tambahan. Aku yang sudah tidak tahan akhirnya menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, Senja hanya menyangkal dan terus menyangkal, beralasan kalau dia hanya sekadar lelah. Tentu saja aku menolak jawaban itu mentah-mentah. Aku memang tidak sepeka Senja atau Kharisma, tapi aku tidak sebodoh itu. Aku tahu kalau ada sesuatu yang salah, dan kebohongan Senja hanya memperburuk firasatku.

Tapi, aku teringat soal janjiku pada Senja. Meskipun aku tidak pernah mengucapkannya secara resmi, tapi sedari awal aku selalu memberinya kebebasan untuk menyimpan rahasia dariku. Aku memberinya ketenangan atas setiap hal yang ada di pikirannya dengan tidak melewati batasan itu. Aku akan mendengarkan kapan pun Senja membutuhkan tempat bercerita, tapi aku tidak akan pernah memaksanya mengatakan apa yang mengganggunya selama ia tidak ingin melakukannya. Aku harus menghormati janji itu, karena bisa saja di momen aku melewati batasan yang aku buat untuk membuat Senja nyaman, ia akan pergi secepat angin dan menghilang tanpa jejak. Kalau itu terjadi, aku akan hancur.

Aku harus menahan diriku. Meskipun sakit, semua akan sepadan, karena di sini kita sedang membicarakan Senja. Bukan perempuan lain, tapi Senja, si perempuan berambut cokelat yang sudah merenggut hatiku sejak pertama mata kami bertemu di gedung pementasan.

Aku pasti bisa, atau minimal aku bisa mencoba sebisa mungkin.

Kami akhirnya sampai di depan gedung kosku, dan tanpa kata-kata perpisahan aku turun dari mobil dan Senja melesat meninggalkanku. Kepalaku mendadak sakit, dan aku berjalan terhuyung-huyung ke kamarku.

Setelah kehebohan yang terjadi selama beberapa hari terakhir, rasanya wajar saat aku merasa semua menjadi kosong. Kamarku terkesan sangat sepi, dan entah kenapa kesan rumah yang dulu kamar ini miliki kini menghilang bersama perginya masalah-masalah yang aku harap tak akan terjadi lagi.

Meskipun situasi sebelum berpisah cukup canggung, tapi itu tidak membuat Senja melupakan kesepakatannya. Sebelum waktu menunjukkan pukul dua belas malam, Senja mengirimku foto selfie lainnya. Tapi, aku tidak bisa bilang kalau foto hari ini membuatku senang.

Dalam fotonya, Senja masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang ia kenakan saat di tempat Kharisma. Tapi, tentu saja bukan hal itu yang menggangguku, melainkan senyumnya yang terlihat sangat palsu. Melihat senyumnya membuatku semakin khawatir, tapi di saat bersamaan aku tidak tahu harus berbuat apa.

Haruskah aku menanyakan keadaannya, meskipun itu akan melanggar janjiku padanya soal privasi? Atau haruskah aku diam dan bersikap seolah tidak ada yang terjadi, meskipun aku yakin betul ada sesuatu yang salah padanya?

Ah, aku tidak bisa berpikir jernih. Aku mengambil kanvas di bawah ranjang dan meletakkannya di easel. Aku bukan mau melukis, melainkan hanya menatap kanvas kosong di hadapanku.

Lukisan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang