Vol. 2: Nadine - 17

1.2K 195 1
                                    

"Senja, ini benar kamu?"

"Iya, Jani, ini aku." Suara Senja serak, tapi masih bisa dikenali. Aku bisa mendengar napasnya yang keras dan jarang-jarang. "Maafkan aku karena baru bisa menghubungimu sekarang."

"Kamu ke mana saja, Senja? Aku menghubungimu berkali-kali, tapi kamu enggak merespons sama sekali. Dan sekarang, kamu menghubungiku dengan nomor lokal?"

"Jani, maaf. Aku tahu kamu khawatir, tapi aku enggak punya banyak waktu."

"Apa maksudmu? Di mana kamu sekarang?"

"Aku enggak bisa bilang. Tapi, aku baik-baik saja, kok. Kamu enggak perlu khawatir." Aku merasakan perasaan intens yang asing di dalam diriku, tanpa tahu pasti apa penyebabnya. "Ada yang harus aku sampaikan ke kamu, Jani."

"Tunggu dulu, apa yang sebenarnya terjadi? Apa susahnya, sih, bilang kamu di mana?"

"Aku enggak bisa, Jani. Karena persis ketika kamu tahu aku ada di mana, kamu akan pergi mencariku, berusaha menemuiku. Aku enggak bisa membiarkan itu terjadi."

"Kenapa... kenapa kamu menghindariku sebegitunya? Apa aku berbuat salah? Kalau iya, kamu bilang apa salahku, supaya aku bisa memperbaikinya."

"Kesalahanmu..." Ada jeda dalam kalimat Senja, keraguan merasuki suaranya yang lirih. "Kesalahanmu adalah... matamu, Jani."

"Mataku?"

"Andai mata kita enggak bertemu di hari itu, semua ini enggak akan terjadi. Pertemuan kita di pameran enggak akan sama kalau kamu enggak pernah memberiku tatapan itu. Aku benci tatapan itu, dan semua yang kamu bawa bersamanya."

"Senja, aku enggak mengerti."

"Tentu saja kamu enggak akan mengerti, Jani. Tatapanmu, yang entah bagaimana memberiku harapan palsu akan masa depan, sekarang malah membuat semua jadi berantakan. Hidupku akan sederhana tanpa tatapan itu. Hidupku... hidup dan matiku akan lebih mudah kalau aku enggak pernah bertemu denganmu, Anjani!"

Aku tersentak. Amarah dan rasa frustrasi yang tergambar dari suara Senja terdengar asli dan tidak dibuat-buat. Entah bagaimana, pertemuan kami mengacaukan hidup Senja. Aku masih tidak tahu alasannya, tapi bisa dipastikan kalau hidup Senja menjadi jauh lebih berat karena kehadiranku.

"Jadi, ada apa kamu meneleponku sekarang?" tanyaku kaku. Hatiku sakit, rasanya seperti ditusuk tombak. Mataku perih, menahan air mata yang sedari tadi berusaha keluar. "Is this goodbye?"

"Yes, it is," jawaban Senja sama dinginnya dengan perasaanku saat ini. "Aku enggak mau lagi melihat wajahmu, atau mendengar namamu dalam hidupku. Jangan pernah sentuh apa pun yang berhubungan denganku, Jani. Lukisanku, tempat tinggalku, kampusku, teman-temanku, dosenku, dan semua yang menyisakan aku di dalamnya. Jangan sentuh hidupku lagi."

"Kamu tahu betapa egoisnya kamu sekarang, Nja?" balasku dengan sedikit senyum di bibir. "Jika kamu pikir hidupmu saja yang menderita sejak pertemuan kita, maka kamu adalah orang paling egois yang pernah ada. Hidupku hancur karenamu, Nja. Karena kamu, aku dipertemukan dengan lelaki bejat macam Andreas. Bukan cuma itu, lukisan-lukisanmu yang busuk karena darah juga membuatku menderita, tapi semua harus aku tahan karena aku peduli padamu. Tapi, karena sekarang semua sudah berakhir, tak ada salahnya untuk berkata jujur sekali saja, kan?

Senja, lukisanmu busuk, dan aku yakin semua yang terlibat di dalamnya juga memiliki bau busuk yang sama. Aku bersyukur karena kamu memintaku menjauh dari semua hal yang berhubungan denganmu, karena aku sudah lelah bersandiwara dalam kebusukan yang ada dalam hidupmu."

Setelah semua serangan menyakitkan dari Senja, yang terlintas di kepalaku hanyalah balas dendam. Aku tidak bisa membiarkannya pergi tanpa merasakan sakit yang sama sepertiku. Bahkan, aku harap ia merasakan sakit yang lebih dari yang aku rasakan saat ini.

Lukisan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang