Maaf ya kalau lama nggak update 🙏🙏🙏
Selamat membaca❤❤❤Waktu sudah menunjukkan pukul 16.34, Leyra menghembuskan nafas lega setelah menerima loyang dan uang hasil pembelian kuenya dari sie kewirausahaan. Kenapa begitu sore? Alasannya adalah OSIS sibuk melakukan rapat sepulang sekolah karena dalam waktu dekat, SMA ini akan menjadi tuan rumah suatu ajang lomba. Alhasil Leyra harus sabar menanti di sekolah yang sudah beranjak sepi ini ditemani oleh tetesan air hujan yang mengucur disela-sela asbes alun-alun sekolah, yaps gazebo terbesar yqng letaknya ditengah.
Leyra menuntun sepedanya dengan pelan keluar dari gerbang sekolah. Meskipun hujan sudah reda tetapi mendung tebal itu masih meneteskan titik-titik air yang pastinya masih mampu membuat badannya kuyup sesampai dirumah. Tetapi Leyra tidak mempunyai pilihan lain, jalanan sebelah kiri dari sekolahnya ini benar-benar sudah rusak parah.
Kalau sepedanya dikendarai takutnya tergelincir karena licinnya hujan sedangkan kalau dituntun hati-hati pasti sampai rumah kepetangan ditambah tubuhnya basah kuyup dan terkena cipratan air lumpur yang sesekali dihasilkan oleh ban kendaraan yang lewat dengan tidak sengaja menginjak kubangan air berlumpur.
Tiba-tiba Leyra dengan samar melihat Resti dan teman-temannnya mendekat. Dandanannya sungguh berbeda jauh dari yang biasa ia lihat di sekolah. Perlahan tapi pasti mereka sampai di depannya. Resti terlihat membuang sisa puntung rokoknya kejalanan dan langsung diinjaknya hingga mati. Ia memang pernah mendengar kalau Resti merokok dan pecandu miras demi suaranya supaya bagus. Jangan salah, meskipun anaknya kasar seperti itu juga merangkap dimalam hari sebagai sinden yang suara langgamnya begitu lembut. Leyra tidak habis pikir juga dengan anak itu. Entah mengapa perasaannya benar-benar tidak enak, apalagi tidak tau bagaimana Erika bisa ada diantara mereka.
"Ikut gue!" Ucap Erika setelah membiarkan beberapa saat hening mengisi keterdiaman antara mereka.
Tidak biasanya Resti akan diam saja seperti itu, apalagi jika diingat hari ini ia cukup dekat dengan cowok-cowok itu. Diamnya mereka membuatnya lebih takut untuk memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Karena sepertinya rencana sudah tersusun rapi jika dilihat dari kedatangan mereka yang bertepatan dengan ia yang sampai belokan gang yang lebih sepi dari jalanan rusak tadi, kali ini jalanan masih belum beraspal yang luar biasa beceknya saat bercampur dengan air hujan.
Leyra melirik tangannya yang dipegang erat oleh Erika, seperti takut kalau akan melarikan diri. Resti dan kawan-kawannya menunggu di bawah sedangkan ia dan Erika sudah sampai diatas tanggul sungai yang seperti dikarpeti hijau oleh rumput-rumput basah itu. Perlahan dia melepaskan tangannya dan menatapnya dengan tajam. Alih-alih menghindar Leyra justru menatap lekat mata sahabatnya yang dulu selalu bersamanya.
"Dulu kita sering main sepeda bersama ya rik sewaktu kecil, bahkan aku bisa naik sepeda karena kamu yang ngajarin." Leyra mengawali untuk membuka percakapan diantara mereka berdua.
Kenangan-kenangan itu sungguh indah. Dia adalah teman pertama dan satu-satunya yang terlama saat mengetahui latar belakang keluarganya. Leyra tersenyum satir saat melihat kilatan rasa benci dimata sahabatnya.
"Kenangan menjijikkan itu .. udah gue buang jauh dari ingatan. Setahu gue, mengenal lo adalah kesalahan terbesar gue. Kalau bukan karena lo, masa kecil gue bakal indah. Nyokap cuma manjain gue yang anak satu-satunya. Ironisnya dia lebih sayang ke lo hanya dengan ngelihat muka busuk lo itu yang memelas." Seberapa bencinya Erika dapat ia rasakan dari nada suaranya.
"Maafin aku-"
Permintaan maaf Leyra terpotong oleh bentakan dari Erika, "MINTA MAAF SEKARANG JUGA PERCUMA, keluarga gue sekarang udah hancur." Nada Erika memelan rendah diakhir kalimatnya, "Bokap gue ternyata buronan yang gak lama ketangkep setelah keluarga gue pindah ke Suraba** dan sekarang gue punya bokap tiri yang gak pernah anggep gue ada. Harusnya masa kecil gue bisa lebih indah, setidaknya akan jadi kenangan paling indah dari hidup gue."
Leyra sangat terkejut mendengar penuturan dari Erika, jika demikian berarti kesalahannya memang sangat susah untuk dimaafkan. Leyra membuka tutup mulutnya, sangat sulit untuk mengucapkan kalimat sekedar penenang bagi sahabatnya karena nyatanya ia lah penyebab dari itu semua. Tidak ada satu kata pembelaan pun yang terucap dari mulutnya.
"Dengerin gue baik-baik, mulai sekarang apapun yang membuat lo bahagia bakal gue rebut. Ingat itu!"Kecamnya.
Erika menghapus air mata yang dengan kurang ajarnya membasahi pipi, menyaingi tetesan gerimis yang perlahan mulai berhenti turun. Ia melirik sekilas kebawah, tanggul ini adalah tempat tertinggi dari undakan-undakan ditanggul ini tetapi jarak tanggul teratas dengan yang lainnya tidak berdekatan dan memiliki sekat yang cukup untuk orang-orang yang biasanya menali ternak dombanya disini.
Tiba-tiba ia mendorong Leyra, meskipun tidak terlalu keras tetapi dibantu oleh rumput yang licin sudah cukup untuk menggulingkannya sampai melewati dua undakan. Erika hanya menatap sekilas tubuh Leyra yang berhenti berguling karena terganjal batu, sepedanya ikut jatuh bersamanya dan tepat ringsek di depan tubuhnya yang berhenti.
Tubuh itu masih bergerak perlahan saat Erika menghampirinya. Ia sama sekali tidak ingin membunuhnya, makanya ia juga memastikan tempat dan dorongannya tidak begitu keras untuk menggulingkannya sampai undakan terakhir. Erika hanya ingin menyakitinya. Ketika sudah dipastikan kalau Leyra masih bisa untuk menopang hidupnya, ia berlalu pergi.
Leyra menatap sahabatnya dengan nanar. Apakah sudah tidak ada kesempatan lagi? Ia terdiam disana entah berapa lama. Keadaan tubuhnya, ia benar-benar tahu. Hdungnya berdarah banyak tetapi bukan mimisan, sepertinya ada luka cukup dalam dihidung kanannya karena terbentur. Kulit dagunya terkelupas dan ketika di sentuh mengeluarkan tidak sedikit cairan merah. Kedua lututnya terluka, entah bagaimana karena ia belum melihatnya yang jelas gesekan rumput dengan lututnya menjelaskan bahwa rok seragamnya rusak dan lututnya luar biasa perih.
Leyra berhenti merasai semua lukanya, ia harus tenang. Menenangkan napas dan detakan jantungnya yang kian menekan lebih penting dari pada semuanya. Kesadarannya harus tetap terjaga.
Ketika ia melihat kesepedanya, ada rasa takut yang menyusup. Ia tidak pernah mengerti kalau sejak saat itu ia trauma untuk menaiki sepeda atau kendaraan apapun yang diboncengi sendiri olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Diary
Teen Fictiontentang perasaan yang selalu tersakiti tentang cinta yang sulit untuk tak saling melukai dan tentang kepedulian yang membuatku selalu menjadi bayangan