12. Mengalir

13 3 1
                                    

Nyatanya semuanya mengalir begitu saja, begitu cepat dan tepat. Nyanyianku berujung dengan tepukan tangan dan kembali ke tempat duduk dengan tenang. Sepertinya pelajaran kali ini sedikit berjalan dengan lancar.

"Wah, Tia! Bagusnya lagu tadi!" puji teman sebangkuku dengan wajah yang dibumbui senyum lebarnya.

Aku hanya memberikan senyuman tanpa membalas kembali pujiannya. Membiarkannya terlarut dalam suasana suka dengan lagu yang barusan kunyanyikan. Lagu itu memang suka kunyanyikan saat SD dulu, ajaran dari seorang guru seni yang sangat bersemangat kala mengajar kami. Kini entah bagaimana kabarnya guru tersebut, karena setelah kami lulus SD kabarnya guru tersebut pindah tugas ke sekolah lain.

Banyak hal yang terlewatkan begitu saja. Mengalir sebagaimana mestinya tanpa ada hambatan sedikitpun. Walau kenyataannya hal itu membuat semuanya tak ada keunikannya sama sekali. Tak ada yang patut diubah, hanya biarkan mengalir dan atur sebagaimana ia bekerja. Tetaplah seperti itu.

"Tia, nanti kamu pulang sama siapa?" tanya temanku yang tengah memperhatikan guru di depan.

Aku hanya terdiam sesaat, entahlah nanti akan pulang dengan siapa. Apakah Koji si menyebalkan itu akan mengajakku pulang bersama atau aku akan menempeli Airin dengan sepedanya yang selalu pulang bersama temannya yang membayarnya. Yah, Airin memang dibayar untuk membonceng temannya itu pulang-pergi sekolah. Jadi aku tak bisa merepotkan Airin dengan menjadi bebannya untuk perjalanan rumah ke sekolah maupun sebaliknya.

Mungkin aku akan menunggu saja depan gerbang, siapa tahu ada orang yang berbaik hati mengantarku pulang nanti.

"Entahlah," jawabku akhirnya setelah terdiam sebentar.

Pelajaran terus berlanjut sampai ke jam terakhir. Akhirnya waktu pulangpun tiba. Dengan serempak kami sekelas membereskan buku-buku dan alat tulis yang ada di atas meja, memasukannya dengan teliti ke dalam tas masing-masing.

"Tia aku pulang duluan, yah!"

Aku hanya mengangguk meng-iyakan pamitan dari teman-temanku yang perlahan pergi menginggalkan kelas satu per satu. Dengan cepat aku melangkah menuju gerbang, berharap akan ada orang baik yang menawariku untuk pulang bersama.

"Tia!! Sini dulu!" teriak seseorang yang kuyakini itu adalah Koji yang tengah dikerubungi oleh beberapa perempuan dan laki-laki yang tengah membawa kertas-kertas.

Aku tak yakin apa yang tengah mereka lakukan di sana, tapi sebaiknya aku temui dulu Koji yang tengah kesusahan itu.

"Ada apa, Ji?" tanyaku dengan ekpresi penasaran yang berusaha kuredam.

Koji masih tampak asyik mengumpulkan kertas-kertas yang diserahkan teman-temannya.

"Bentar, Ti. Nih, pegang dulu!" ujarnya sambil melimpahkan setumpuk kertas yang beralih ke tanganku.

Sementara Koji masih sibuk dengan pertanyaan teman-temannya yang tampaknya tak berkesudahan itu, aku sedikit memisahkan diri dari mereka. Berada di antara para senior memang membuat kita merasa terasingkan, apalagi mengingat pengetahuan mereka yang sudah di atas kita. Sungguh membuatku ingin segera menjauhkan diri.

"Hai, Ti. Ngapain di sini? Belom pulang?" tanya seseorang yang ternyata Kiha yang tengah membolak-balik kertas yang berada di tangan kirinya.

"Uhm, belom. Lagi nungguin Koji, tuh. Kakak sendiri kok belum pulang?" tanyaku balik sembari memperhatikannya yang tengah mengamati kertas itu.

Kiha mengalihkan perhatiannnya padaku. Menoleh sedikit ke arah di mana Koji yang sudah sedikit lengang dari kerumunan tadi. Lantas kembali menatapku yang tengah menatapnya juga.

"Koji memang sedang populer sekarang yah? Kekeke, aku sendiri tengah menunggu Koji untuk menyampaikan pertanyaan," jelas Kiha sambil terkekeh ria.

Aku hanya manggut-manggut seolah mengerti. Memang kelas mereka sedang sibuk-sibuknya yah, sampai saat pulang sekolah pun masih disibukkan dengan kertas dan pertanyaan. Sungguh berat sekali.

"Oi, lama nunggunya, yah?" tanya Koji dengan napas yang terengah. Sepertinya dia berlari untuk sampai sini.

Kiha mengulurkan kertasnya ke arah Koji. "Nih, oh yah aku punya pertanyaan!"

Koji langsung menyambut kertas yang diulurkan oleh Kiha, menangkat alisnya seolah menyilahkannya bertanya.

"Hasil laporan pengamatan itu, kumpulnya kapan?"

Koji memasukan kertas yang dipegangnya ke dalam tasnya. "Tiga hari lagi."

"Hah!? Serius?!" Kiha terbelalak. Sepertinya itu pukulan telak baginya.

Aku yang tak tahu apa-apa mendingan berdiam diri sambil mengamati mereka sajalah.

"Serius. Sudah. ayo Ti, kita pulang," ajak Koji padaku sambil berjalan meninggalkan Kiha yang tampak baru sadar bahwa ia juga harus pulang.

Mungkin (Sudah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang