Aku meletakan tas dengan pelan, takut mengganggu temanku yang sedang menekuni sebuah buku tebal dengan sampul warna biru cerah yang sengaja di posisikan tegak agar judulnya terbaca dengan jelas, Bahasa Indonesia. Wih, anak rajin memang begini. Pagi-pagi mengisi otak dengan sarapan yang berkelas, tentu saja otak selalu lapar akan pengetahuan. Pengetahuan yang tentunya berguna dan bernilai positif bagi si otak. Nisa memang sangat suka memberi asupan otaknya, bukan hanya perut saja. Tentu saja, aku juga tak kalah dengan Nisa yang rajin itu. Perlahan aku mendudukkan diri di kursi sampingnya, membuka tas dan mengeluarkan buku Bahasa Inggris yang tebalnya teramat sangat mengalahi tebal rambutku. Yah, aku tahu, walaupun sudah mencoba berkali-kali memakai lidah buaya, tetapi tetap saja tebal rambutku tak ada peningkatan. Entah itu hanya se cm atau lebih sedikit. Mungkin memang sudah tak ada harapan.
"Tia, kamu mau belajar Bahasa Inggris, pagi-pagi?" heran Nisa seraya menurunkan bukunya, menatapku dengan kagum.
Hah! Andai saja dia tahu tentang persainganku dengan Koji yang sudah lancar bahasa inggris itu. Pastilah dia akan memberiku semangat mati-matian agar aku tidak kalah dari, eh, tentu saja dia akan mendukung Koji, mengingat bagaimana sikap dia sebelumnya yang sudah seperti terjerat dengan pesona dari seorang Koji Pijola.
"Iya, kenapa? Aku keren, kan?" tanggapku dengan berusaha ingin dipuji dengan percaya diri melebihi tinggi pohon di halaman sekolah.
Nisa tertawa dengan keras. Tawa yang begitu menamparku agar kembali ke keadaan nyata. Betul-betul menarikku kembali ke alam yang nyata. Eh, sebenarnya apa yang salah dari ucapanku. Aku rasa, diri ini cukup pintar untuk belajar bahasa inggris di pagi ini. Tidak ada keanehan apapun. Namanya juga usaha, kan.
"Keren dari mana, coba? Lagipula, ada hal apa sampai kamu berniat belajar bahasa inggris sepagi ini?" interogasi Nisa seraya menodongkan bukunya barusan.
Aku hanya berpikir sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Nisa. Apakah dia harus kuberitahu perihal persaingan dengan Koji untuk pidato bahasa inggris itu?
"Eh? Mmm, sebenarnya, sih...." Aku terdiam sebentar. Entah apa yang ingin kukatakan.
"Iya, kenapa?" balas Nisa dengan pandangan fokus kepadaku. Oh, jika seperti ini aku jadi tak ingin mengatakannya. Lebih menyenangkan membuat kejutan kan. Jika nanti dia tiba-tiba melihatku di depan sana saat upacara membacakan pidato bahasa inggris. Bukankah itu hal yang hebat? Lebih baik membuktikan daripada membual dengan ucapan saja. Benar. Aku harus membuktikan terlebih dahulu. Usahaku masih terlalu jauh dengan apa yang akan aku gapai.
"E-eh, tidak. Hanya saja, aku memang ingin lebih banyak membaca bahasa inggris, karena kamu tahu sendiri, kan. Aku ini kurang begitu bisa bahasa inggris," jelasku penuh dengan karangan indah seperti sebuah premis dari sebuah ide cerita.
"Kamu ini bicara apa, sih? Belajar itu tidak mesti kalau kamu kurang bisa memahaminya. Kalau sudah memahaminya pun harus dipelajari lagi agar tidak melupakannya. Tentu saja kalau belum paham juga harus lebih giat dalam pemahaman." Nisa seperti tokoh protagonis yang begitu bersinar saat ini.
Tunggu! Apakah dia sudah mulai menjadi bijaksana akhir-akhir ini? Kurasa bahkan sebelumnya ia masih dengan lagak bingungnya bertanya secara menggebu padaku.
"Bagaimana? Aku keren, kan? Hahaha, wajahmu barusan sungguh menghiburku, Ti." Nisa tertawa begitu puas melihatku yang sudah memasang wajah blank.
"Apa kamu belajar jurus terbaru?"
"Yah, aku berusaha menjadi seseorang yang bijak dan selalu berwibawa. Ternyata, ada gunanya juga aku membaca kalimat itu di sebuah narasi kemarin. Namanya juga usaha, kan?" Nisa menegakkan kembali bukunya yang sempat melayang kepadaku sebelumnya.
Yah, usaha. Bahkan yang sedang aku lakukan sekarang adalah berusaha. Usaha buat menyaingi Koji dalam pidato bahasa inggris. Tentu saja aku akan mengerahkan kemampuan dalam hal ini. Lihat saja nanti. Pasti aku akan menjadi lebih dari sebelumnya.
"Yah, usahamu tak sia-sia, Nis. Aku sampai tak bisa berkata apa-apa lagi tadi. Aku pikir kamu sudah makan apa, sampai bisa sebijak itu. Sangat berbeda dengan kamu yang sebelum-sebelumnya." Aku melihat Nisa yang bersiap melayangkan kembali buku di tangannya.
"Woho, tenang. Tenang, Nis. Jangan sampai pencitraan wibawamu hilang dalam sekejap," ucapku mencoba menenangkan Nisa yang akan mengamuk.
"Apa?! Pencitraan kamu bilang!" Nisa sudah berdiri. Oh tidak.
Segera saja aku melarikan diri dari amukan Nisa dengan bukunya. Buku bahasa inggris kupegang dengan erat, seolah aku berharap isi buku tersebut selalu menempel dengan otakku.
"Hei, apa yang kalian lakukan?"
Suara yang menyengat begitu masuk telinga dan membuat otak terasa membeku di tempat. Oh, tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mungkin (Sudah Diterbitkan)
General FictionTia Arnola, hanya seorang anak SMA biasa. Tidak populer tapi memiliki banyak teman. Mudah bergaul tapi susah mendapatkan teman yang benar-benar dekat. Begitulah adanya. Kegiatan sehari-harinya di sibukan dengan masalah ini dan itu, entah kapan akan...