23. Bunga

9 2 1
                                    

"Ti?"

Panggilan dari Koji tak kujawab. Masa bodohlah. Palingan juga mengerjaiku lagi, maaf saja kali ini aku tak mempan. Sudah berapa kali Koji memanggil akhirnya dia diam sendiri karena tak mendapatkan tanggapan. Untung saja dia berhenti dengan sendirinya sebelum kulempar tasnya ke parit sana.

Gerbang sekolah sudah terlihat, sementara Koji secara tiba-tiba menghentikan laju sepedanya. Aku bingung dan diam saja menunggu. Sepertinya dia menarik napas atau apalah dulu sebelum masuk. Aneh memang, kenapa aku bisa akrab dengannya.

"Ti?" panggilnya untuk yang kesekian kalinya.

"Ya?" jawabku karena tak tega mendiaminya sedari tadi.

Ayolah, biasanya aku dan Koji akan adu argumen saat berbicara. Kami berdua seolah tak berkesempatan untuk bicara yang serius. Selalu saja ujungnya ejekan atau teriakan tak terima. Memangnya siapa yang akan tahan berbicara serius dengan Koji yang seperti ini.

"Sepertinya, kamu harus turun deh." Koji berucap pelan.

Tentu saja aku menurutinya karena sepertinya dia serius saat menyuruhku turun. Apa ban sepedanya kempes atau rantainya putus atau jangan-jangan tubuhku terlalu berat diboncengan. Jarang sekali Koji menurunkanku sebelum sampai tujuan. Biasanya juga selalu melarang saat aku hendak turun saat dia belum menjejakan kakinya ke tanah. Takut sepedanya oleng katanya. Biarlah, kali ini aku memandanginya dengan heran.

"Kenapa Ji? Kan belum sampai?" protesku.

Koji hanya diam dan sesekali mengatur pakaian dan rambutnya. Sementara matanya hanya berpusat ke depan sana. Apa-apaan dia ini. Ditanya malah tak menjawab sama sekali. Apa jangan-jangan dia balas dendam karena aku mendiamkannya selama perjalanan tadi? Oke, baiklah sepertinya aku akan minta maaf sekarang.

"Ji, ak--," perkataanku terputus begitu saja.

"Dah, Tia. Aku duluan yah, hahaha!" Koji melajukan sepedanya dengan kencang meninggalkanku di pinggir jalan seorang diri. Heh, apa-apaan dia. Jadi dia mengerjaiku? Awas saja.

"Hei, Koji! Awas saja, tunggu pembalasanku!" teriakku dengan sekuat tenaga sambil berkacak pinggang.

Setelahnya malah mengatur napas karena berteriak sekuat itu. Memutuskan untuk berjalan kaki menuju gerbang yang sudah terlihat dari tempatku berdiri. Memang dikiranya aku tak sanggup jalan kaki apa, tentu saja ini bukan masalah bagiku.

Belum lagi lima langkah aku berjalan, sebuah sepeda menghentikan lajunya di sampingku. Siapa ini? Dengan segera kepala ini menoleh ke pengendara sepeda yang tampak gagah dengan sepeda hitamnya. Si pengendara tersenyum dengan tampannya. Oh!

"Hai, Tia?" sapanya sembari menuruni sepedanya.

"Oh, hai. Kak Taki, kenapa? Kok berhenti? Apa ada yang terjatuh?" tanyaku saat lelaki itu sudah berada di hadapanku.

"Tidak kok, hanya sebuah bunga."

"Hah?" bingungku. "Bunga?" lanjutku kemudian sembari melirik sana-sini.

Berharap menemukan bunga yang dimaksud oleh lelaki ini. Namun, sejauh yang kutemukan malah kerikil, semen, tanah, rumput dan sebagainya. Tak terlihat olehku adanya setangkai bunga ataupun seikat bunga. Apa maksudnya nama orang yaitu Bunga? Segera saja mataku mencari sosok lain di sekitar. Tak nampak juga.

"Lah, lihat apa sih, Ti? Dari tadi sepertinya kebingungan?" tanyanya dengan alis terangkat.

"Itu, uhm.... memangnya mana bunganya?" tanyaku memastikan.

Taki mendadak merubah raut wajah dengan hangat. Memberikan senyum seolah tengah mendapatkan barang kesayangannya.

"Kamu."

Oh, ternyata aku toh. Oh!? Aku!? Seperti bunga maksudnya?!

"Hah?!" kagetku.

"Kekeke, sudah. Wajahmu sangat lucu kalau begitu. Eh, kamu kok sendirian jalan kaki di sini? Temanmu mana?"

Aku segera memberengut mendengar pertanyaannya. Mengingat Koji yang sudah berlari dengan sepedanya meninggalkanku sendiri di sini, padahal dia bisa saja meninggalkanku tepat di depan gerbang saja. Kan, aku tinggal masuk halaman kemudian ke koridor lalu masuk kelas. Namun, kini aku harus berjalan terlebih dahulu untuk mencapai gerbangnya.

"Ditinggal Koji," ucapku sembari memasang wajah kesal.

Taki hanya mengangguk mengerti. Sepertinya aku memang sebuah bunga yang dibuang di pinggir jalan. Oh, malangnya diriku ini.

"Kalau begitu, ayok naik!" ajaknya sambil menaiki sepeda.

Aku hanya terdiam kaku. Seriusan ini, wah haruskah aku berterima kasih pada Koji yang telah meninggalkanku di pinggir jalan ini. Oh, Koji aku sungguh merasa kali ini kamu memang bersikap bagus. Setidaknya aku bisa dekat dengan orang yang kusuka.

"Ayo, nanti kita terlambat," katanya lagi.

Aku hanya mengangguk kagok. Melangkah perlahan menuju sepedanya. Duduk di boncengan. Setelah memastikan aku duduk dengan aman, Taki mengayuh sepedanya. Perjalanan yang menyenangkan. Sungguh menyenangkan.

Banyak hal yang aku dan Taki ceritakan ketika di sepeda. Taki bertanya bagaimana rasanya di kelasku, apakah menyenangkan atau sebaliknya. Dia juga menceritakan tentang dirinya. Pokoknya ini seperti sesi pendekatan. Oho, Koji myfriend thankyou very much for you.

Sepeda yang membawa kami melewati gerbang lalu menuju parkiran. Dari jauh terlihat Koji yang tengah bercerita dengan seorang perempuan yang cantik dengan rambut panjang lurusnya yang hitam. Wah, jadi ini sebabnya dia meninggalkanku seorang diri tadi. Tunggu saja, eh bukannya aku sudah bahagia dengan adanya Taki Kiono yang berada di depanku sekarang.

"Tia, sudah sampai. Yuk, aku antar ke kelas?!" Taki berjalan bersamaku. Melewati Koji dan perempuan itu.

Aku tak melihat ke arah Koji, entah bagaimana tanggapannya. Pastinya aku sibuk bercerita dan tertawa bersama Taki yang sepertinya mulai cocok saat bersama.

Say goodbye Koji. Hahaha. Tawa jahat muncul di pikiranku.

Mungkin (Sudah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang