Bel pulang sudah berbunyi baru saja. Guru melangkah menuju pintu setelah menyudahi pelajaran dengan memberikan tugas untuk pertemuan selanjutnya. Grasak-grusuk buku dan peralatan menulis dimasukan ke tas sudah seperti bunyi musik saja. Aku sendiri tengah menutup buku yang berisi catatan Bahasa Indonesia yang baru saja selesai. Bergegas menutup resleting tas setelah merasa semuanya sudah kumasukan. Menoleh pelan pada Nisa yang tengah mengorek-ngorek isi tasnya. Kenapa dengannya? Apakah ada sesuatu yang sedang dicarinya?
"Kenapa, Nis?" Penasaran. Aku segera menanyainya yang direspon dengan penghentian gerakan tangan yang terus mencari sedari tadi.
"Aku lupa meletakan kunci rumah di mana," Wajahnya menampilkan ekspresi lesu bercampur khawatir. Tentu saja. Dia tidak bisa masuk rumah jika kuncinya saja tak ada.
Aku menoleh ke sekitar dengan pandangan meneliti, barangkali ada kunci yang tergeletak. Membungkuk, mencoba melihat di bawah meja dan kursi, kalau-kalau Nisa secara tak sengaja menjatuhkannya. Nisa sudah memasang wajah meringis seolah ingin menangis saja. Wajahnya sudah merah dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Seisi kelas sudah meninggalkan kursi mereka masing-masing meninggalkan kami berdua yang masih sibuk mencari-cari kunci rumah Nisa yang hilang. Setidaknya aku harus membantu Nisa yang tengah kesusahan seperti ini, walaupun aku tak yakin bisa pulang nanti tanpa tebengan. Tak apalah, aku akan jalan kaki saja.
"Tasmu, sudah diperiksa semuanya?" selidikku dengan pandangan mengarah ke tas Nisa yang tengah tergeletak pasrah di atas meja.
Nisa mengangguk. "Belum, sih. Aku yakin juga hanya di bagian yang kubuka saja, aku meletakkannya," ungkapnya.
Melihat keadaan tas Nisa yang menyisakan bagian kiri dan kanan yang ada tempat menaruh botol minum sedikit mengembung, membuatku sedikit tak yakin dengan jawabannya. Setiap kemungkinan harus dipastikan. Jadi akan kuperiksa sedetail mungkin.
"Bagian kiri dan kanan tasmu tak diperiksa? Bukankah seharusnya juga diperiksa sebagai bagian dari tasmu?" usulku agar masalah ini cepat terselesaikan dan kami bisa segera pulang, mengingat waktu terus berjalan.
"Untuk apa? Aku merasa tak meletakkannya di sana."
"Itu hanya opinimu, Nis."
Aku menarik tas Nisa, memeriksa bagian yang dimaksudkan. Tak lama, tanganku menemukan sebuah benda kecil dengan suhu dingin saat disentuh. Tak salah lagi. Ini pasti kunci rumah yang dimaksud. Segera saja kutarik keluar benda yang ditemukan. Hasilnya, tentu saja itu benda yang tengah dicari-cari sedari tadi.
"Bagaimana, faktanya? Kunci ini ada di dalam sini, bukan? Opinimu keliru dan opiniku tak sepenuhnya salah, kan?" Aku menyerahkan kunci itu ke tangannya.
"Maafkan aku, Ti. Aku terlalu khawatir, sehingga tak mampu lagi berpikir jernih." Nisa sudah kembali menormalkan wajahnya. Sudah kembali cerah seperti sebelumnya. Tak ada lagi mendung di wajahnya.
"Baiklah. Tak apa. Lain kali, tenangkan diri dahulu lalu mulai berpikir dengan jernih sebelum memutuskan bertindak. Setidaknya pasti akan menemukan petunjuknya. Sekarang, ayo pulang!"
Kami berdua melangkah menuju pintu kelas. Mengambil sepatu di rak. Aku memasang sepatu sambil berpikir akan bagaimana pulang ini. Sampai tak sadar bahwa Nisa sudah menepuk bahuku berulang kali. Aku hanya mengangguk, memasang senyum baik-baik saja.
Berjalan menuju parkiran. Nisa sudah ditunggu oleh teman bersepedanya. Aku hanya menjawab bahwa ada teman yang bersamaku nanti untuk menyuruhnya pulang bersama temannya dan tak mengkhawatirkan diriku.
"Sudahlah. Mari siapkan tenaga untuk berjalan hari ini," gumamku sambil melemaskan otot-otot yang sedikit kaku sambil melihat Nisa yang sudah menjauh.
Berjalan dengan tenang seolah tengah melakukan jalan santai di sekitar taman kulakukan sampai menuju gerbang sekolah yang sudah setengah tertutup. Setidaknya aku sedang mempersiapkan diri untuk pelajaran olahraga di pertemuan selanjutnya yang membahas tentang lari. Jadi napasku akan tetap baik-baik saja saat dibawa berapa lamapun. Tidak menutup kemungkinan aku akan mendapatkan nilai yang cukup memuaskan, hohoho.
"Tia."
Eh? Ada seseorang yang memanggilku?
"Oi!"
Oh! Sepertinya aku sudah berhalusinasi di cuaca panas terik seperti ini. Akibat akan berjalan sampai rumah sepertinya separah ini. Setidaknya biarkan aku pingsan saat sampai di rumah saja daripada di sini. Ini tidak bagus sama sekali.
"Oi! Kamu benar-benar tak mau berbicara padaku lagi, yah? Apakah kamu semarah itu? Aku benar-benar minta maaf, Ti!"
Segera saja aku melihat ke arah sang suara yang sempat kukira hanya halusinasi saja tadi. Di sana. Di dekat gerbang sekolah, terdapat Koji tengah duduk di sepedanya sambil menyender ke pagar sekolah. Sepertinya halusinasiku tambah parah. Tak mungkin Koji ada di sana. Seharusnya ia sudah pulang sedari tadi dan bukannya tengah bersamaku seperti sekarang. Ini fakta atau opini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mungkin (Sudah Diterbitkan)
General FictionTia Arnola, hanya seorang anak SMA biasa. Tidak populer tapi memiliki banyak teman. Mudah bergaul tapi susah mendapatkan teman yang benar-benar dekat. Begitulah adanya. Kegiatan sehari-harinya di sibukan dengan masalah ini dan itu, entah kapan akan...