27. Aksi

5 1 1
                                    

Sebisa mungkin menghindari percakapan ataupun bertatapan. Melarikan pandangan sebisa mungkin ke arah berlainan. Terus begitu sepanjang waktu berjalan sedari mendudukkan diri di bangku yang sama. Merasa mempunyai ruang dan waktu sendiri. Merasa sibuk dengan pikiran masing-masing. Pikiran yang bergelayut dengan riangnya sampai enggan berlalu sedikitpun. Mungkin saja akan terus berlanjut sampai bel masuk berbunyi kalau saja tidak ada teriakan keras khas seorang Airin yang sudah tak bisa menahan amarahnya. Meledak bagaikan balon yang sudah kepenuhan diisi, eh balon meletus. Bagaikan letusan gunung merapi yang sudah menahan diri untuk tidak segera aktif dalam meledakkan diri dalam kurun waktu yang singkat.

"Hei!!! Kalian berdua! Ada apa dengan kalian?!" teriak Airin begitu menyeramkan.

Sontak saja aku terkejut dan bisa kupastikan seluruh isi meja ini terkejut karena aku bisa melihat ekpresi mereka masing-masing. Alangkah kuatnya efek yang ditimbulkan. Airin benar-benar mengambil alih semua perhatian kami yang semula sibuk masing-masing.

"Siapa maksudmu, Ai?" tanggap Koji santai setelah menormalkan rasa terkejutnya tadi.

Airin langsung saja menatap geram Koji yang masih bersikap tak tahu apa-apa dengan kalimatnya barusan. Itu yang dapat kutangkap dari ekpresi Airin barusan. Sungguh. Aku ingin segera menghilang saat ini. Kabur menuju kelas yang aman bagiku. Setidaknya tidak ada keadaan seperti ini.

"Siapa lagi?! Tentu saja, kamu! Koji! dan kamu! Tia!" Airin menunjuk aku dan Koji satu per satu saat menyebut nama kami masing-masing.

"Memangnya ada apa denganku, Ai?" Koji kembali bersuara.

Aku menyeringai mendengar tanggapan Koji yang kembali seperti biasanya, hanya bersikap santai saja tanpa memahami bagaimana keadaan orang lain. Lihatlah Airin yang sudah mengeluarkan tanduknya di pandanganku.

"Heh! Oh, ya ampun!" Airin menepuk kepalanya frustasi dengan Koji. "Ti, kamu tak mau menjelaskan?" Kali ini Airin beralih kepadaku.

"Apa yang harus kujelaskan, Rin? Semuanya baik-baik saja, kok. Jangan terlalu mencurigai sesuatu."

Tentu saja aku memutuskan untuk tidak memberitahu Airin kebenaran yang terjadi. Tentu saja agar semuanya tidak menjadi runyam dan menjadi masalah besar. Hanya karena masalah kecil saja, tidak perlu sampai seperti ini. Airin cukup tahu bahwa semuanya baik-baik saja. Biarkan nanti akan terselesaikan dengan aman olehku saja. Tak perlu Airin ikut campur turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan yang sepeleh ini.

"Jadi, kamu tak ingin menjelaskannya, Ti?" Airin memastikan pendengarannya.

Aku mengangguk mantap. Tak perlu dibicarakan sampai seperti ini. Aku bisa menyelesaikannya dengan Koji secara dingin nanti, tapi nanti.

"Tuh, dengar kan? Apa kata Tia? Semuanya baik-baik saja." Koji kembali bersuara mendukung hal yang barusan kukatakan.

Airin hanya mengangguk masam mengetahui bahwa kami tak ingin membicarakannya. Hanya itu yang bisa kulihat dari pandanganku.

"Kalian benar-benar pandai berakting, yah? Atau memang hanya aku yang menyadari bahwa kalian berdua terlihat aneh dan seolah-olah kalian saling menghindari. Tadi juga Koji datang sendiri menjemputku tanpa ada kamu, Ti. Biasanya kalian berdua selalu bersama jika ingin kemanapun. Kali ini kalian beda," papar Airin dengan menggebu.

Makanan di meja bahkan sudah terabaikan sedari tadi. Nisa dan Kamio juga hanya terdiam mendengarkan pembicaraan kami yang baru mereka ketahui, mungkin. Makanan mereka juga ikut terabaikan.

"Aduh, Ai. Memangnya tiap kemanapun harus aku sama Tia, begitu? Kan, Tia juga punya urusan lain." sanggah Koji, tangannya memulai menyendok makanannya.

"Hooh. Memangnya Koji harus selalu bersamaku, Rin? Dia juga butuh bersama orang lain juga." aku ikut menanggapi sanggahan Koji.

"Hei, Ti. Siapa yang bersama siapa?" Kali ini Koji sudah menghentikan makannya dan menatapku sengit.

"Siapa?" tantangku tak mau kalah.

"Hei, kalian!"

Mungkin (Sudah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang