14. Bersaing

15 3 1
                                    

Pagi hari yang indah, semerbak harum bunga yang mekar tercium di hidungku. Bau rumput yang segar menambah semangat untuk segera berangkat menuntut ilmu. Suara katak yang bersahutan membuat pagi ini terasa ramai. Oh, semalam hujan dengan derasnya sampai kurasa akan terjadi banjir jika terus hujan seperti itu.

"Hei, Tia. Are you ready goes to school?" Suara seseorang memecahkan pagi indahku dengan ucapan bahasa inggrisnya.

Sepintas ada ide yang menarik untuk digunakan. Oho, tadi malam aku baru saja menonton sebuah drama yang tayang di televisi. Setelah selesai belajar aku langsung menaruh perhatian pada televisi yang tengah menayangkan sebuah drama dari luar negeri. Kesempatan yang bagus bila kugunakan untuk menanggapinya, bukan.

"네," walaupun cuma sepenggal, setidaknya aku berhasil membuatnya tengah berpikir keras. Kekeke, rasakan.

"Bahasa mana itu, Ti?" bingung Koji sambil memegang sepedanya.

Aku hanya menaik-turunkan kedua alis sambil memasang senyum lebar melihat hasil dari perkataanku barusan. Ini berhasil kan.

"Korea," jawabku mantap.

Koji hanya mengangguk paham. Menaiki sepedanya kemudian memandangku sambil menunjuk belakangnya dengan dagu. Aneh sekali anak ini.

Aku segera berjalan menuju boncengan sepeda Koji. Sepeda melaju dengan pelan, seolah berat badanku memang menyusahkan sang pengayuh pedal. Aku dan Koji memang bertemu di halaman depan rumah kami saat akan berangkat sekolah. Tak kukira ia akan berangkat pagi, biasanya aku akan mencari tumpangan dengan teman yang lain.

"Nanti aku akan belajar bahasa arab," ujar Koji.

Oho, kesempatan bagus. Jadi selain bersaing bahasa inggris, nanti kami juga akan bersaing dalam bahasa negara lain. Sepertinya persaingan ini tak akan berakhir dalam waktu dekat. Kukira karena ia akan segera lulus, maka hubungan kami akan berubah dari seperti kucing dan tikus menjadi kucing dan marmut. Kekeke, tentunya aku pihak kucingnya.

"Oke. Tunjukkan padaku nanti, sejauh mana pembelajaranmu!" pintaku.

Koji hanya mengangguk. Aku hanya terdiam sambil memperhatikan sekeliling dengan wajah tengah berpikir. Akankah dunia akan tetap seperti ini, tidakkah suatu saat akan berubah. Berubah. Yah, mungkin saja setelah lulus nanti Koji akan berubah. Mungkin saja ia akan lupa denganku. Lupa dengan Airin. Mungkin nanti dia akan sibuk dengan teman-teman barunya. Sibuk dengan tugasnya. Atau mungkin dia malah mengacuhkanku nanti. Setiap perubahan pastinya selalu mengiringi kehidupan. Mungkin ada sesuatu yang tidak berubah. Sepertinya ada, walau sedikit.

"Ehm, Ji!"

"Ya?"

"Setelah lulus nanti, kemana rencanamu?" tanyaku pelan.

Koji terdiam sesaat. Mungkin ia tengah berpikir untuk menjawab pertanyaanku yang tak diduganya. Atau mungkin ia tengah melamunkan rencananya yang telah ia rancang dengan sempurna.

"Memangnya kenapa, Ti? Kok, tiba-tiba tanya hal yang seperti ini?"

Aku hanya terdiam. Entahlah, tiba-tiba saja pertanyaan seperti itu terlintas dipikiran. Mungkin aku hanya penasaran. Atau mungkin hanya pertanyaan yang iseng.

"Tidak ada. Hanya ingin tahu saja," jawabku sekenanya.

"Oh, rencana yah? Menurutmu bagaimana, Ti?"

Nah, loh. Bagaimana ia bisa menanyai balik. Apanya yang menurutku, apa aku bisa memberikan jawaban yang bagus serta baik dan benar dan sudah tersampel dengan kata ideal. Malah nanti mungkin akan asal-asalan.

"Hn, bekerja? Melanjutkan sekolah? Oh, atau jangan-jangan..."

"Jangan-jangan apa, Ti?" tanya Koji penasaran.

Aku tersenyum menahan tawa sebelum menjawab. Sungguh ini diluar dugaanku.

"Jangan-jangan kamu sudah dijodohkan, kemudian menikah. Wah!" ucapku sambil cekikikan.

"Heh, asal saja kalau bicara!" dengus Koji tak terima.

Akhirnya tawaku malah membahana. Oho, begitu seru rupanya menjahili seorang Koji. Tidakkah ini awal pagi yang baik?

"Siapa tahu, kan?" olokku bersemangat.

"Iya, mungkin jodohnya sama kamu!" serang balik Koji.

Aku terdiam. Cukup lama.

Mungkin (Sudah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang