02. Kesal

68 9 3
                                    

"Tia!" panggil Koji saat aku berlari melewati kelasnya.

Maaf saja, aku tidak akan menoleh apalagi menyahuti panggilanmu itu. Tentu saja aku masih kesal padanya yang pelit itu. Untung saja dia sudah kelas XII, yang berarti aku tidak akan bertemu orang seperti itu lagi tahun depan. Sudah menyebalkan, pelit pula. Bah, kenapa aku bisa berteman dengannya, sih? Yah, karena kami tetanggaan. Yah sudah, itu nasib. Setiap hari kami berdebat menggunakan bahasa inggris yang belepotan. Setiap bertemu pasti ada sepatah dua patah kata berbahasa inggris. Memang saingan sekali dalam hal apapun. Pernah ketika aku memamerkan nilaiku yang cukup tinggi, eh dia malah balas memamerkan nilainya yang sempurna. Bikin sakit hati memang. Pokoknya dia teman yang menyebalkan.

Berjalan terus menuju kelasku yang sedikit lagi sampai. Tanpa melihat kemanapun, hanya lurus dan fokus menuju pintu kelas yang sudah tertutup. Gawat! Sepertinya sudah ada guru di kelas. Langkahku terhenti tepat di depan pintu kelas X.I dengan suasana yang juga tak kalah heningnya dengan kelas Airin tadi. Wah, sudah dua kali aku terserempet dalam keadaan genting seperti ini. Bagaimana ini, apakah aku masuk sambil bilang kalau habis dari toilet? Tidak mungkin, pasti akan langsung terkena interogasi berjangka panjang. Haruskah kubilang habis lari olahraga mengitari halaman sekolah demi mengembalikan buku? Baiklah sepertinya aku harus jujur saja. Lagipula ini juga salahku karena tidak gesit dalam melakukan hal apapun.

Dengan perlahan tanganku terangkat untuk mengetuk pintu. Berdoa saja gurunya baik hati membiarkanku lolos tanpa hambatan apapun.

Baru saja aku ingin mengetuk pintu, dalam sekejap pintu dibuka dari dalam. Menampilkan si ketua kelas yang tengah membawa spidol dan sekotak tintanya.

"Kenapa, Ti? Kok berdiri di luar? Tidak mau masuk? Kalau begitu sekalian bantuin aku!" Dengan entengnya dia bertanya sementara aku sudah menyiapkan kata-kata mutiara agar dapat mendapatkan keringanan dari keterlambatan ini.

"Eh? Tidak ada guru di kelas?" tanyaku memastikan.

Harus dong. Bagaimana kalau ternyata aku terkena jebakan karena tidak waspada dan teliti? Kan aku yang susah nantinya.

"Lihat saja ke dalam!" ucapnya sembari membuka tutup spidol.

Aku menoleh ke dalam kelas yang tampak biasa saja suasananya. Maksudku tidak ribut atau ada suara bercerita atau melakukan aktivitas apapun di dalamnya. Mungkinkah disuruh mencatat? Mungkin saja.

"Serius! Ada guru atau tidak di dalam?" tanyaku sekali lagi karena aku belum dapat menemukan jawabannya.

Aneh. Ini terasa ganjil mengingat bahwa teman sekelas kami biasanya akan selalu berbincang apabila sedang tidak ada guru tapi ada tugas. Kalaupun ada guru, pastinya akan sibuk terhanyut dengan pelajaran. Setiap pelajaran akan seru karena kami selalu bersemangat menjawab ataupun melakukan apa yang diminta guru dalam belajar. Sibuk berdiskusi atau bertanya tentang ini dan itu. Pokoknya selalu ramai kelas ini. Kecuali saat sedang serius.

"Tidak menemukan jawabannya?" tanyanya sambil menyelesaikan pekerjaannya. Berdiri dari posisi jongkoknya.

Sontak aku menggeleng dengan memberengut karena sudah kesal dengan orang di hadapanku ini. Beraninya dia mempermainkanku. Tinggal jawab saja apa susahnya. Tinggal bilang ada atau tidaknya guru di dalam tidak akan membuat napasnya habis kan?

"Makanya coba intai lebih cermat lagi!" ucapnya kemudian.

Rasanya aku ingin melemparnya sekarang juga. Menyebalkan. Kenapa hari ini orang selalu menyebalkan.

"Kamu pikir aku ini pengintai apa!?" kesalku.

Ketua kelas hanya menatapku aneh. Memangnya tampangku ini aneh apa? Cuma lari sedikit tadi, masa langsung membuatku terlihat aneh.

"Siapa tahu!" katanya sembari berlalu dari hadapanku, "Ayo, mau masuk tidak?" tanyanya.

Aku menahan kesal yang semakin membumbung tinggi. Untung ketua kelas, kalau tidak maka akan kusiram bukunya menggunakan botol minum yang kubawa.

Saat kami memasuki kelas, ternyata semuanya pada disibukkan dengan catatan yang berada di papan tulis. Buku cetak sudah berada di setiap meja. Tertulis di papan dengan tulisan khas ketua kelas yang begitu rapi seperti ketikan, 'Buka bab 2! Baca, ringkas dan catat! Nanti akan dijelaskan kemudian akan ada latihan! Siapkan diri kalian! Semangat!' Ya ampun. Apa-apaan itu dengan kata terakhirnya. Baiklah, memang kebiasaannya yang selalu menuliskan kata semangat di akhir penyampaian pesan guru.

"Ti, coba lihat punyaku! Apakah bagus tulisannya! ringkasannya juga sudah aku saring dengan teliti supaya hal pentingnya masuk semua. Kemudi--,"

Belum sampai di meja, cerocosan panjang teman sebangku sudah menyambutku. Ya ampun, bisakah aku tenang sedikit. Menambah kesal saja.

"Iya, sebentar!" kesalku sambil mendudukkan diri di kursiku.

Mungkin (Sudah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang