09. Peluang

19 2 3
                                    

Palembang, Sumatera Selatan yang merupakan tempatku berada. Dari lahir sampai sekarang tetap di sini, belum pernah keluar kota atau pulau sekalipun. Tidak ada urusan juga untuk melakukan itu. Aku juga terlalu malas untuk melakukan bepergian. Malas melakukan perjalanan yang melelahkan. Kata malas memang selalu mengikutiku. Namun, tidak untuk kata belajar. Kata malas tak pernah berani mendekati kata belajar untukku. Belajar bagaikan antivirus untuk kata malas itu bagiku. Sekali aku menekuni belajar, maka kata malas akan menjauh sebelum aku mengakhirinya. Akhirnya aku selalu diam di situ-situ saja. Tidak juga seperti teman-temanku yang bebas bepergian kemana saja mereka mau. Sudah kubilang, aku terlalu malas untuk melakukan itu kecuali memang ada urusan dan penting.

"Tia! Kamu sudah selesai mengerjakannya?" tanya teman sebangkuku, Nisa.

Aku menoleh ke arahnya dengan cepat. Tampak Nisa tengah memainkan penanya dengan memutarnya berkali-kali.

"Belum. Sedikit lagi," jawabku sambil melihat sekilas buku tugasku.

Yah, sekarang sedang pelajaran Matematika. Materi tentang Peluang. Berapa peluang terjadinya hujan di kota B atau berapa peluang gambar dan angka pada koin muncul saat koin dilemparkan. Intinya, kami harus menghitung semua peluangnya. Peluangku untuk mengalahkan Koji juga aku belum tahu. Coba saja aku bisa menghitungnya nanti. Siapa tahu peluangku ternyata besar. Benar sekali, akan kucoba nanti.

"Hooh, kalau sudah selesai silakan dikumpul sama ketua kelas," ucapnya lagi.

Lah, kok ketua kelas? Bukannya gurunya masih di kelas selesai menjelaskan materi dan berdiskusi tadi.

"Kenapa begitu?" tanyaku heran.

Nisa menutup bukunya, meletakan penanya dilanjutkan dengan meregangkan tangan dan lehernya.

"Gurunya ada urusan mendadak. Lagian tinggal beberapa menit lagi jam pelajaran selesai."

"Lima menit lagi," celetukku.

Nisa mengangguk, tangannya mulai merapikan buku-buku yang berada di mejanya.

"Memangnya kamu sudah selesai?" tanyaku.

Aku mengalihkan perhatian menuju buku tugasku yang tinggal beberapa soal lagi yang belum terjawab. Sedikit lagi. Waktunya tinggal 5 menit untuk menyelesaikannya. Kalau tidak, jangan harap ketua kelas akan berbelas kasihan untuk menunggumu menyelasaikan dan mengumpulkannya.

"Sudah. Malahan aku kekurangan soal," Nisa terkekeh di akhir jawabannya.

"Jadi, Ti. Berapa peluangmu untuk menyelesaikan tugas ini tepat waktu?" godanya dengan berdiri dari duduknya, membawa buku.

Nisa melangkah mendekati ketua kelas yang sudah santai menunggu dan mengawasi, kalau-kalau ada yang lalai dan korupsi waktu. Sepertinya peluang ketua kelas mengerjakan cepat memang besar.

Aku memfokuskan pada tugasku yang sedikit lagi selesai. Jangan sampai aku ketinggalan waktu. Tentunya aku tidak mau mendapatkan nilai buruk pada pelajaran ini, atau setiap pelajaran tentunya. Jangan sampai nilaiku jauh di bawah darikata standar.

"Yes, finish." Akhirnya selesai juga.

Ketua kelas terlihat sudah memasang wajah siaganya. Mulai berhitung mundur agar yang belum mengumpulkan untuk segera menyerahkan buku tugasnya. Siapapun yang terlambat, maka akan menerima resikonya.

Dengan tergesah aku berjalan untuk menyerahkan buku tugasku. Selesai. Buku sudah dikumpul dengan selamat dan seluruh soal sudah terjawab dengan yakin. Seolah aku sudah yakin bahwa jawabanku benar. Hah, yang benar saja. Mungkin saja ada sebagian yang keliru, atau salah hitung. Tidak perlu seambisius itu untuk mendapatkan nilai sempurna. Cukup melewati batas aman saja. Setidaknya nilai kita sudah tidak jadi persoalan lagi. Apalah aku ini, ingin bersaing dengan Koji tapi malah begini pandanganku. Setidaknya aku harus mendapatkan nilai-nilai yang baik dan tentunya perilakuku harus baik juga, agar seimbang semuanya. Tapi aku juga tak ingin terlalu membuat ini menjadi terlalu serius.

Kira-kira berapa peluangku bisa bersaing dengan Koji dan aku yang keluar sebagai pemenangnya?

Mungkin (Sudah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang