04. Selera

38 7 6
                                    

Waktu istirahat telah tiba. Setelah berkutat dengan pelajaran Sejarah kemudian disusul pelajaran PPKN di jam berikutnya. Cukup membuat perut berbunyi meminta diberi makanan. Melupakan sejenak bahwa tugas menumpuk yang menunggu untuk dikerjakan. Setelah guru keluar dari kelas, kami mulai merapikan meja, memasukkan buku dan alat tulis yang terhampar di atasnya. Tiada hari tanpa tugas adalah tulisan yang tertempel rapi pada dinding kelas kami. Dibingkai dengan indah oleh salah satu teman sekelas yang berbakat dalam membuat berbagai kerajinan tangan. Memang banyak orang berbakat di kelas ini. Ada yang pandai menari, setiap perlombaan dia pasti akan ikut dikirim. Ada yang jago melukis, yang ini tidak perlu lagi diragukan hasilnya karena dia sudah menghasilkan beberapa piala di sekolah. Serta masih banyak lagi bakat lainnya. Kalau teman sebangkuku bisa bermain alat musik. Hanya saja dia tidak percaya diri dalam menyanyi tetapi malah berbicara terus menerus sehingga membuat orang lain memilih kabur darinya daripada telinga sakit.

"Tia! Ada temanmu di depan!" teriak salah satu temanku yang mejanya dekat pintu.

Aku mengangkat tangan dengan jari jempol teracung ke atas. Menandakan aku mendengarnya. Bergegas aku menyelesaikan acara memasukan buku dan alat tulis ke dalam tas. Buru-buru mengambil botol minum, langsung minum sedikit untuk melegakan tenggorokan yang sudah kering.

"Aku duluan, yah!" ucapku pada teman sebangkuku.

Berjalan meninggalkannya setelah mendengar kata iya darinya menuju Koji yang tengah berdiri di depan pintu. Koji tampak asyik dengan kegiatan melempar senyum pada setiap perempuan yang lewat. Dasar komodo.

"Oi! Jangan tebar pesona di sini!" ucapku setelah berdiri di sampingnya.

Koji menoleh, "Dih! Siapa yang tebar pesona? Orang pesonaku sudah bertebaran sedari awal. Cemburu, yah?"

"Enak saja! Kepalamu cemburu!" balasku sengit.

Koji hanya tertawa mendengar jawabanku. Apanya yang lucu?

"Sudah. Bilang saja, bahwa kamu cemburu kan, pada pesonaku yang mengalahi pesonamu?" tanya Koji lagi.

Ini menyebalkan. Memangnya pesonaku bisa dikalahi apa? Pesona setiap orang kan, beda-beda. Tidak bisa disamakan, menurutku.

"Terserahmu, Ji. Terserah!" Aku berlalu melewatinya setelah memastikan sepatuku terpakai dengan aman.

Melenggang dengan gaya bos baru saja mendapat hebat yang jarang terjadi, Koji menyusulku dengan sengaknya.

"Eh, kemarin aku berdebat dengan orang menyebalkan, kamu tahu?" tanyanya.

"Tidak!"

Orang ini ada-ada saja. Bagaimana bisa aku tahu kalau dia tidak menceritakannya. Sekarang dia menanyakan itu dengan tampang menyebalkannya.

"Huh! Kamu masih kesal karena masalah sepeda pagi tadi?"

Ya iyalah, dikiranya aku lupa apa. Semuanya gara-gara dia pokoknya. Tidak mau tahu.

Aku memasang wajah memberengut, menyalahkannya atas kejadian tadi pagi.

"Ya sudah, aku minta maaf. Lain kali tidak akan kuulangi kok!" bujuknya mencoba untuk melunakkanku.

"Kalau masih diulangi?" tanyaku memastikan.

"Ya, aku minta maaf lagi." Koji tertawa dengan kerasnya.

Ingin aku menyebutkan kata-kata yang melintas di pikiranku sekarang. Bagaimana dia dengan bahagianya karena ucapannya sendiri. Aneh.

"Masalah tadi sebelumnya. Memangnya kenapa bisa berdebat? Oho, aku tahu! Itu pasti asalnya dari kamu, kan? Pantas saja orang itu kesal sama kamu. Orang kamu memang menyebalkan begini." Tawaku meledak di akhir kalimat. Tidak rela dia menertawaiku tadi. Waktunya balas dendam.

"Tidaklah. Masalahnya dia lagi kesal sama temanya terus aku kasih saran, 'bilang saja sampah' begitu. Eh, dianya marah. Lantas kami berdebat masalah sampah terus dia menuntut kata maaf dariku. Lalu--,"

"Hei, cerita apa, nih? Seru sepertinya? Ikut dengar, dong!" Airin tiba-tiba datang dengan menyempil di antara kami berdua.

"Cerita horor!" ucap Koji sambil memasang wajah semenakutkannya untuk Airin yang takut dengan hal yang berbau horor.

"Hah? Tidak usah, deh. Bukan seleraku." Airin menutup kedua telinganya rapat, mencoba menghalangi pendengarannya dari berbagai hal yang tak ingin didengarnya.

Aku dan Koji berpandangan heran, "Selera? Memangnya kamu pikir makanan?" ucap kami tak terima karena kami penggemar horor.

"Terserah aku, dong!" Airin berjalan meninggalkan kami menuju kantin.

Mungkin (Sudah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang