"Ti?" panggil Koji melambaikan tangan.
Aku hanya memasang wajah datar, menunggu dia menyelesaikan kegiatan melambainya. Lebih memilih dia meneruskan pembicaraan. Hanya menunggu.
"Ti, kok diam saja? Benaran, nih?" ucapnya menghampiriku dengan menenteng sepedanya.
"Benaran apa?" tanyaku setelah Koji sudah berdiri di hadapanku.
"Tidak mau maafin aku. Benaran ingin mendiamiku?" ujar Koji dengan ekspresi murung.
Aku hanya menatap Koji dengan wajah aneh. Ini Koji, loh. Biasanya juga tak seperti ini kelakuannya. Sekarang aku sudah ingin tertawa melihat wajahnya yang seperti itu. Tanpa kusadari, senyum sudah terbit begitu saja.
"Kapan kamu minta maafnya? Kok, aku tak tahu, yah?" candaku setengah menyeringai.
Sontak saja Koji langsung merubah ekspresi wajahnya menjadi merengut kesal. Merasa telah dipermainkan olehku. Ayolah, padahal sangat jarang sekali aku melakukan hal menyenangkan seperti ini. Mengerjai Koji merupakan hal yang ingin kulakukan sedari dulu karena dia selalu bisa membuatku kalah telak sebelum bersaing sebelumnya.
"Dasar!" Koji mendecih kesal diiringi senyum lega mendengar jawabanku.
Aku hanya menarik kedua sudut bibir ke bawah dengan bentuk melengkung. Menarik kedua alis ke atas. Menyilangkan tangan dengan gaya bos yang sedang menunggu tugas dari bawahan. Pose mematikan.
"Ayolah! Kamu sama sekali tidak seru!" ejekku meremehkannya.
Koji mengangkat kedua tangannya ke sisi masing-masing. Membuat sepeda yang sedari tadi dipegangnya melimpahkan diri ke bawah dengan posisi pasrah. Melihat hal itu, kami berdua hanya tertawa kecil.
"Ya sudah, maaf!" Koji berucap sembari mengangkat sepedanya yang rebahan dengan nyaman.
"Tak tulus itu," tolakku membuat Koji menatap tak percaya.
"Ya sudah. Tia Arnola, yang baik hati. Putri tidur yang selalu mengajak berantem. Maafkan abangmu ini yang tak pengertian terhadapmu. Maafkan karena telah meninggalkanmu sendirian di pinggir jalan hanya karena demi mengejar perempuan bernama Bunga hanya untuk menanyakan tugas-tugas. Seharusnya tak kulakukan hal seperti itu, sehingga dapat meretakkan hubungan kita yang telah terjalin lama dari kita lahir sampai sekarang yang malah terancam hanya karena hal seperti itu. Maafkan kare-- ,"
"Cukup, Ji! Cukup. Tak usah mendramatisir keadaan, deh. Iya, iya. Aku juga minta maaf karena bersikap begiti kepadamu. Membuat hubunganmu dengan Airin jadi renggang juga. Pokoknya kita harus baikan lagi seperti sebelumnya."
Koji memasang wajah tak terima karena perkataannya terpotong begitu saja olehku. Tentu saja, mungkin dia bisa menghabiskan waktu setengah jam hanya dengan perkataannya itu. Tentunya aku tak ingin menghabiskan waktu dengan berdiri di dekat gerbang seperti ini. Aku ingin pulang.
"Yah, sudah, sudah. Ayo naik, kita pulang sekarang." Koji menaiki sepedanya.
Aku hanya mengangguk, menuruti perkataannya. Itu yang aku ingin dengar sedari tadi. Untung saja aku bisa pulang dengan cepat.
"Ayo! Koji! Jalan!" teriakku sembari menepuk-nepuk bahunya dengan kedua tangan.
Koji segera menekan pedal sepeda. Menjalankan sepeda dengan perlahan. Meninggalkan gerbang sekolah menuju rumah. Sekolah sudah mulai sepi karena sudah banyak yang pulang. Hanya beberapa yang belum pulang karena beberapa urusan.
"Eh, Ti. Kok, kamu bisa sama lelaki dari kelas Airin itu, waktu itu?" tanya Koji penasaran.
Aku berpikir sebentar sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Koji. Menikmati angin yang bertiup dengan nyaman menyejukkan.
"Hooh, kak Taki menghampiriku setelah kamu meninggalkan aku seorang diri di tempat yang tidak pas sama sekali. Namun, kak Taki dengan berbaik hati mengajakku diboncengan sepedanya. Huah, betapa senangnya. Kami juga saling bertukar cerita. Pokoknya, ih. Waktu itu aku langsung melupakan kekesalanku padamu karena kak Taki. Jadi, aku juga ingin berterima kasih di saat bersamaan karena hal itu." Aku terus bercerita dengan riangnya. Menceritakan tentang Taki yang bersamaku waktu itu. Sampai aku akhirnya menyadari bahwa Koji hanya diam saja sedari tadi.
Ada apa dengannya? Apa dia mendengarkanku? Jangan-jangan dia malah fokus dengan jalanan.
"Ji, kamu mendengarku?" tanyaku memastikan.
"Ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mungkin (Sudah Diterbitkan)
General FictionTia Arnola, hanya seorang anak SMA biasa. Tidak populer tapi memiliki banyak teman. Mudah bergaul tapi susah mendapatkan teman yang benar-benar dekat. Begitulah adanya. Kegiatan sehari-harinya di sibukan dengan masalah ini dan itu, entah kapan akan...