40. Belajar Keras

0 1 1
                                    

Aku tak sadar sedari tadi melewatkan makan di kantin karena belajar dengan keras untuk mengalahkan Koji Pijola itu. Setelah dua buku berbahasa inggris kulibas habis membacanya dalam satu dudukan. Aku pikir tak ada kesempatan sebagus ini. Koji akan lulus sebentar lagi dan aku akan memberikan pidato untuk kekalahannya atas persaingan kami. Sungguh menakjubkan, bukan? Sekaligus itu merupakan hadiah dariku atas kelulusannya nanti. Aku tak tahu apakah ia akan tetap berada di lingkungan sini atau pindah, bahkan aku tak pernah terpikir bahwa ia akan berpindah nantinya. Pindahan memang melelahkan, berpindah bukan hanya berganti tempat dan kemudian menata hal baru. Namun, berpindah berarti akan perlahan meninggalkan hal lama dan mulai berfokus pada hal baru. Koji bahkan mungkin akan selalu fokus dengan hal barunya nanti. Ia tidak akan mempunyai waktu untuk meladeni anak SMA seperti aku ini.

Terkadang aku sering berpikir, apa harus pindah? Kenapa harus pindah? Bukankah bisa dengan salin, hanya menyalin dan menempelnya dengan aman tanpa takut kehilangan. Bukankah itu lebih menyenangkan? Aku bahkan yakin bahwa hal baru seasyik apapun tetap akan berkesan hal lama karena itu tersalin dengan sama. Pindah hanyalah sebuah aktifitas berpindah, bukan berarti meninggalkan walau sebagian orang berkata demikian. Berpindah dan entahlah, dengan kata apalagi aku harus mengatakannya.

"Tia?!" panggil Airin dengan wajah bingung menatapku.

Bahkan Airin yang sedari tadi ada di depanku saja tidak terasa keberadaannya. Benar-benar aku menikmati masa membacaku ini. Saat membaca adalah kurungan dalam ketertenggelaman waktu yang terus berhanyut dengan sayup. Menenggelamkan sang pembaca dalam uraian kata-kata. Membuat sekitar serasa sepi dan tenang tanpa gangguan apapun lagi.

"Iya?" Aku akhirnya menanggapi Airin yang sudah meletakkan buku bacaannya di meja. Menatapku heran karena sedari tadi benar-benar diam dan begitu hanyut dalam bacaan.

"Yakin kamu membaca? Bukannya tidur?" selidik Airin dengan mata menelisik agar aku tak berbohong. Ayolah, apa aku semalas itu.

"Mana mungkin, aku ini sedang belajar keras. Mana ada aku tertidur atau memikirkan hal lainnya," bantahku dengan meletakkan buku bacaan.

Mata Airin menyipit. "Tapi niat ingin tidur ada, kan?" pancingnya.

Aku cengengesan. Menggaruk leher dan menatapnya seolah minta dimaklumi atas kelakuan temannya ini. Airin memang pantas menjadi seorang detektif atau bagian yang menginterogasi orang. Matanya memang memancarkan aura menakutkan walau dia tak suka nonton horror. Lain kali akan aku ajak saja dia menonton genre seperti itu, biar dia tahu seberapa menakutkan dirinya. Sebaiknya aku ajak Koji juga, ah tidak. Dia akan mengganggu rencanaku nanti. Lupakan saja untuk mengajak Koji itu.

"Itu? Itu tandanya aku sedang belajar dengan keras, tahu!" Aku membela diri sendiri dihadapan temanku yang memang sudah seperti guru kedisiplinan ini.

"Mana ada seperti itu?" tampik Airin dengan tangan mengambil buku satunya lagi yang ia temukan di rak.

Aku hanya mengangguk mengiyakan agar alasan tadi seperti sungguhan dan agar Airin percaya pada perkataan sebelumnya.

"Ya, sudahlah. Memangnya apa hubungannya denganku? Lagipula, kenapa tiba-tiba kamu mengajakku belajar bersama di perpustakaan seperti ini sampai melewatkan jam makan? Apa kamu tahu, bahwa nanti para cacing di perutku akan berdemo? Tidak. Bukan hanya perutku, tetapi juga perutmu. Apa kamu tak memikirkannya, Tia?" Lengkap. Paket komplit omelan dari Airin dengan berbagai bumbu penyedap yang begitu membangkitkan rasa semangat membaca kembali sebelum bel masuk berbunyi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mungkin (Sudah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang