07. Lucu

27 4 2
                                    

Mata ini tak mampu lagi mengalihkan pandangan. Terpaku dengan bodohnya. Dasar memalukan. Memangnya apa yang terjadi sampai bisa begini. Senyumnya? Jelas saja. Senyumnya sangat manis. Sudah seperti gula aren saja. Tahu gula aren kan? Tidak tahu?! Cari saja di google atau tanya orang lain. Manis sampai membuatku ingin minum air sebanyak-banyaknya. Oh, aku tidak terlalu suka sesuatu yang terlalu manis. Manis secukupnya saja untukku. Kelebihan manis juga bisa menimbulkan penyakit bukan? Nah, aku tak mau itu terjadi. Jadi mendingan jangan terlalu berlebihan dalam mengkonsumsi sesuatu yang manis. Apalagi dalam jangka panjang, bisa-bisa nanti jadi sekarat kemudian tidak bisa menikmatinya lagi.

"Hai? Siapa namamu?" tanyanya dengan memasang wajah seperti kelinci.

Aku terperangah. Bengong dengan bodohnya. Kesadaranku kembali ketika senggolan Airin yang tak ada kata lembut-lembutnya mengenaiku.

"Lucunya!" ucapku tanpa sadar.

Tentu saja mereka yang mendengar langsung mengernyit aneh menatapku. Apa-apaan, mungkin itu maksud mereka. Aku juga tidak bisa menarik kembali ucapan yang sudah keluar dengan lancangnya itu. Seharusnya aku lebih berhati-hati dalam mengucapkan sesuatu. Jangan sampai ucapanku menjadi sesuatu yang tidak berguna. Namanya pemborosan suara. Tenggorokan sakit, suara serak dan akhirnya butuh minum agar bisa pulih kembali. Itulah akibatnya jika terlalu banyak berbicara. Oh, satu lagi akibat dari terlalu banyak berbicara hal tak berguna adalah pendengarmu akan merasa jenuh terhadapmu, karena kamu hanya berbicara omong kosong tanpa penyaringan terlebih dahulu.

"Ti! Dia bertanya namamu, kenapa jawabanmu malah 'Lucunya' begitu?" heran Koji.

Airin mengangguk menyetujui. "Tak nyambung, Ti!"

"Hooh, melenceng dengan sangat jauhnya!" imbuh Kiha.

Ya ampun, mereka bersekongkol untuk menjatuhkanku ternyata. Awas saja, akan kuberi pelajaran mereka. Pelajaran matematika, kimia, fisika, ekonomi, sejarah, PPKN, dan masih banyak pelajaran lainnya. Memangnya mereka bisa seenaknya saja menindasku huh? Ini tidak bisa dibiarkan. Kalau dibiarkan nanti lama-lama malah jadi kebiasaan dan aku tidak terima itu, bagaimanapun bentuknya. Titik.

Orang di depanku malah tertawa geli dengan kelakuanku. Apa aku baru saja ditertawakan? Serius? Tidak bohong kan?

"Kamu yang lucu sekali," ucapnya masih sambil menyembulkan gigi kelincinya.

Aku hanya terbungkam. Tak tahu harus bereaksi seperti apa. Jadi tak ada satupun yang berniat membelaku di sini. Begitukah? Malang sekali. Setidaknya aku harus punya satu pendukung yang akan membelaku saat aku tengah melakukan hal konyol. Agar hatiku terasa nyaman, dan tentram serta sejahtera, sehat rohani dan jasmani. Sepertinya sekarang aku harus berjuang sendiri menghadapi kenyataan. Oh, apa ini?

"Jangan begitu! Lihat! Tia sudah memasang wajah seperti kucing habis terkena percikan air. Kan, jadi lucu," Koji sebenarnya niat membela atau menjatuhkanku sih? Malah diakhiri tawa lagi.

"Sudah! Sudah! Namanya Tia Arnola. Anak kelas X.I yang paling mudah kesal sama orang!" ucap Koji memperkenalkanku dengan menyebalkannya.

"Suka menginterogasi orang juga," tambah Kiha.

"Dan juga sangat lucu saat marah," tambah Airin sambil menyengir lebar.

Kenapa temanku begini semua? Kenapa tidak ada yang menjelaskan hal-hal baik tentangku? Setidaknya katakan hal yang keren sedikit di depan orang lucu begini.

"Oho, perkenalkan namaku Taki Kiono. Kelas XI IPA I, sekelas sama Airin. Dan yah, aku juga suka menginterogasi orang," ucap gigi kelinci di depanku.

Aku hanya mengangguk pelan. Tidak tahu harus berkata apa lagi. Bingung ingin berkata apa. Nanti salah bicara lagi, kan tidak mengenakkan.

"Oho, Lucunya!"

Mungkin (Sudah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang