26. Mulai pt 2

7 2 3
                                    

Pelajaran selanjutnya membahas masalah kejahatan yang terjadi. Banyak kejahatan yang membuat orang-orang selalu bersikap waspada dengan keadaan sekitar seolah di manapun mereka berada akan ada seseorang yang mengintai keberadaan mereka. Bukankah itu terlihat mengerikan, ada banyak tindakan kejahatan yang mengerikan di dunia ini. Di mulai dari kejahatan ringan, kecil, sedang, berat, hingga kejahatan yang membuat darah siapapun naik karena tingkat geram sudah mencapai maksimalnya.

"Jadi anak-anak, kalian harus berhati-hati di manapun kalian berada. Tetap berada dalam wilayah aman dan berada dalam keadaan di mana kalian tidak sendiri. Lebih baik kalian tidak membuat diri kalian dalam keadaan terancam dalam kejahatan, bukan?"

"Baik, bu." koor serentak sekelas.

"Tapi, bu. Bagaimana jika penjahat itu bisa berkamuflase?"

"Iya, bu. Bagaimana jika mereka dapat menangkap targetnya walaupun dalam situasi ramai atau wilayah aman seperti yang ibu katakan tadi?"

"Bukankah disetiap tempat harus dipasang cctv dan penerangan jalan bu?"

"Menghindari penjahat tingkat rendah memang cukup bisa bu, tapi bagaimana jika mereka membawa senjata tajam?" Kali ini yang bertanya adalah sosok laki-laki yang kudengar mengikuti sebuah organisasi silat.

"Atau.... bagaimana jika mereka mengancam, bu?" Kali ini aku yang bertanya.

Serentak kami menatap ibu itu dengan pandangan meminta penjelasan. Tentunya pertanyaan kami tadi ditanyakan dengan beruntun tanpa memberi jeda untuk ibu itu memberi jawaban satu per satu. Beginilah jika sudah menyangkut pertanyaan. Susah sekali membuat kelas kami bertanya secara teratur.

Setelah berbicara panjang lebar menjelaskan kepada kami dan waktu pelajaran ibu itu juga selesai dengan berbunyinya bel pertanda istirahat. Mengasyikan sekali kalau semua pelajaran seperti ini. Menambah wawasan dan berdiskusi dengan lancar tanpa ada pihak yang harus merasa tugasnya hanya mendengarkan saja tanpa berkata apapun.

"Ti, ayo ke kantin?" ajak Nisa yang sudah berdiri di samping mejanya sendiri.

Mejanya sudah rapi dan bersih dari buku yang berserakan sebelumnya. Berbeda dengan mejaku yang sudah tertumpuk dengan buku-buku yang belum kubereskan.

"Sebentar," tanggapku.

Berusaha merapikan buku secepat mungkin. Memasukkan ke dalam tas kemudian ikut berdiri dan menyusul Nisa yang sudah berjalan keluar kelas untuk memasang sepatu.

"Hai, Ti? Kantin, ya?"

"Hooh," jawabku pada Kamio yang tengah mengikuti berjalan ke luar kelas.

"Boleh ikut?"

"Boleh saja," setujuku berusaha memakai sepatu dengan cepat.

Perutku sudah berteriak meminta pertolongan agar diselamatkan dari kekosongan makanan dan aku sebagai tuan perut yang baik sedang berusaha memberikan pertolongan. Kami bertiga langsung berjalan menuju kantin tanpa menengok kelas Airin maupun Koji. Aku akan memikirkan nasib perut yang sudah sekarat sebelum menemui mereka.

"Tia! Sini!" teriak Airin dari meja kantin sebelah kiri dengan bersemangat.

Di depan Airin, tampak Koji yang tengah membaca sebuah buku. Tak menoleh sama sekali kepadaku. Wah, jadi dia dalam situasi marah atau merajuk kepadaku.

"Tid--," perkataanku terpotong oleh teriakan dari Nisa yang sudah menyeret aku dan Kamio berjalan ke arah meja Airin dan Koji.

"Oke!"

Sudah tidak berlaku lagi tindakan ingin menolak secara halus dan mengasingkan diri. Nyatanya kini aku tengah duduk berdampingan dengan Airin yang sekarang tengah menatapku penuh selidik. Koji juga terdiam sedari tadi tanpa memulai kata apapun. Sementara Nisa sudah menyamankan diri di samping Koji dengan pandangan terpesonanya. Anak itu, jadi selama ini dugaanku tak meleset bahwa dia naksir dengan Koji. Aku sudah mempunyai pikiran demikian saat dia menanyakan hal-hal tentang Koji saat dia menanyakan kedekatanku dengan Koji setelah berganti pakaian saat pelajaran olahraga waktu itu.

"Koji! Tia! Kalian berantem?!" tuduh Airin dengan tepat sekali.

Mungkin (Sudah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang