01. Sepeda

91 16 5
                                    

"Tia!"

Gawat. Aku harus segera mempercepat kayuhan sepeda ini. Mengingat pemiliknya sudah lari kocar-kacir sambil meneriakkan namaku di sela-sela ancamannya.

Hah Hah Hah

Batu ini sepertinya sedang bekerja sama dengan orang yang tengah mengejarku itu. Lihatlah batu itu tergeletak dengan nyamannya di tengah jalan yang kulalui. Napasku bahkan sudah terengah-engah sedari tadi karena mengayuh sepeda dengan kekuatan lebih. Demi menghindari tangkapan dari seorang Koji Pijola yang tengah berlari dengan kekuatan yang tak main-main. Heh, dia 'kan laki-laki tentunya kekuatannya lebih besar daripada aku. Mau diadu bagaimanapun, tetap dia yang akan menang. Usaha dulu deh, sebelum menyerahkan diri.

Hap

"Dapat kamu! Ayo, kembalikan sepedaku!" ucap Koji sembari tangannya menahan ban sepeda belakang yang tengah kutumpangi.

"Cuma sebentar kok, Ji. Tolonglah!" mohonku sambil tetap berusaha meloloskan diri beserta sepeda Koji yang kularikan.

Oke. Memang salahku yang meminjam tidak izin terlebih dahulu kepada yang punya. Namun, aku punya alasan untuk itu. Tentunya alasannya sangat penting bagiku. Aku harus segera menyerahkan buku cetak milik temanku yang sudah beberapa hari kupinjam. Sekarang dia membutuhkannya. Tentunya aku harus segera menempatkan buku ini ke mejanya dengan segera dong. Masalahnya adalah Koji yang sekarang tengah memelotiku karena tidak rela sepeda barunya dipinjam. Bah, dasar pelit. Awas saja kalau aku punya sepeda baru. Takkan kupinjami dia.

"Tidak bisa!" tolak Koji tetap pada posisinya semula.

Oh gawat. Waktu terus berjalan, sementara Koji dengan pelitnya tidak mau meminjami temannya yang sedang kesusahan ini. Teman macam apa dia.

"Dasar pelit!" teriakku sembari menuruni sepeda yang tak berhasil membawaku ke tujuan. Kacau sudah. Kukira akan berjalan dengan lancar tanpa hambatan sedikitpun. Menyerahkan buku dengan selamat dan tepat waktu. Namun, oh berjalan dengan sangat tidak mulus. Berdoa saja guru di kelasnya belum masuk.

Dengan kencang aku berlari meninggalkan Koji dengan sepedanya itu. Sepeda yang menjadi target operasionalku. Apalah itu.

Melewati kelas yang perlahan sepi karena sudah waktunya masuk kelas. Sementara aku masih sibuk dengan kegiatan lari di sepanjang jalan menuju kelas XI IPA 1, kelasnya si empuh buku ini.

Hap

Akhirnya aku berhasil juga sampai di depan pintu dengan mengerem maksimal. Pintu sedikit tertutup, mungkinkah sudah ada guru yang mengajar? Aduh, bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? nyelonong masuk, itu tidak sopan sama sekali alias kurang ajar. Mengetuk pintu sambil berkata dengan kalimat-kalimat baik. Mungkin aku akan ditertawakan karena bicara tersendat-sendat saking gugupnya, bahkan mungkin kakiku akan lebih memalukan dengan menunjukkan bahwa orangnya tengah gemetaran. Tidak. Tentu saja aku tidak mau itu terjadi. Bagaimanapun aku masih ingin bebas berjalan sana-sini tanpa rasa risih sedikitpun.

Secara perlahan aku mengintip di sela pintu. Berharap segera menemukan temanku itu. Suasana kelas begitu hening, tak ada bunyi apapun. Apa mereka tengah mengerjakan tugas yang telah diberikan guru? Tapi ini masih pagi, masa belum apa-apa langsung tugas. Harusnya penjelasan tentang materi dulu baru tugas.

"Hei, kenapa berdiri di depan pintu?" suara seseorang dibelakang membuatku terkejut.

Sontak aku langsung menyingkir dengan teratur, memberi jalan pada orang yang sepertinya terganggu perjalanannya karenaku.

"Ada perlu apa di sini? Cari siapa?" tanyanya lagi.

Oh, hampir saja aku menambah lama waktu memberikan buku ini. Mungkin sekarang temanku tengah mengumpatiku karena tidak tepat waktu mengembalikannya. Maafkan aku, kalau saja si Koji itu tidak menghalangiku maka aku akan tiba lebih awal lagi dari pada sekarang.

"Uhm, itu mau cari Airin Semule. Mau mengembalikan buku... kak!" ucapku sedikit ragu pada akhir kata. Benar, sepertinya dia di kelas ini, yang berarti kakak kelas kan.

"Oh, tunggu sebentar yah! Biar kakak panggilkan orangnya!" perintahnya sebelum masuk ke kelas sembari membawa setumpuk buku paket.

Aku hanya mengangguk kikuk. Aduh, jangan sampai di kelasku sudah ada gurunya. Bisa mampus aku. Pikiranku sudah berkelana jauh. Memikirkan ini dan itu. Bagaimana kalau aku terlambat ke kelas? Pastinya hukuman akan langsung menimpaku.

"Ui, Tia! Masih pagi sudah melamun saja!" sentak Airin mengagetkanku karena tiba-muncul bersamaan dengan suaranya yang keras itu.

"Mana ada!" balasku dengan membuka tas kemudian langsung meraih buku yang menjadi awal dari kejadian ini.

"Nih! Terima kasih banyak! Aku mau ke kelas dulu, bahaya kalau sudah ada guru di kelasku," ucapku yang kemudian langsung lari secepat mungkin menuju kelasku.

Andai saja sepeda tadi bersamaku. Pasti aku tidak akan melakukan olahraga lari seperti ini.

Mungkin (Sudah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang