Kelas kembali hening setelah muncul guru berikutnya yang mengajar. Pelajaran saat ini adalah Seni Budaya. Yah, pelajaran yang ditunggu kehadirannya saat hari sudah mulai panas dan lemas ini. Selain gurunya yang mengasyikkan juga pelajaran ini tidak terlalu serius. Seni musik, kita bisa asyik mempelajari berbagai musik yang dapat menyegarkan telinga. Seni rupa, seni tari dan seni lainnya merupakan hal yang selalu bisa kami nantikan. Mengapa? Karena setiap tes, akan ada saja kreasi dari teman sekelas kami yang serba punya ide ini. Tubuh terasa segar kembali setelah dilanda rasa jenuh karena panas dan lelah. Benar-benar pas saat pelajaran ini ditempatkan di jam seperti ini.
"Selamat siang, anak-anak?" sapa guru Seni dengan semangatnya.
Seperti biasa, sapaannya selalu semangat. Untuk membangkitkan semangat belajar di saat lemas begini, begitu katanya saat salah satu teman sekelas kami bertanya. Orangnya masih muda, baru lulus S1 beberapa bulan yang lalu katanya. Tepat ketika kami masuk ke SMA ini juga dia masuk ke sekolah ini. Itu artinya, kami sama-sama baru, bukan? Lupakan saja.
"Selamat siang, Pak!" jawab kami kompak, bersemangat tak kalah dari bapak guru.
"Bagaimana kabarnya saat ini?" Bapak guru berjalan memuju mejanya untuk meletakkan tasnya.
Seperti biasa bapak akan meletakkan tasnya kemudian akan berdiri di samping meja lalu memandangi seisi kelas dengan tatapan memindai. Entah apa maksudnya, mungkin jika menemukan ada yang sakit atau ada yang tertidur bisa langsung diatasi.
"Ngantuk, Pak!"
"Lelah, Pak!"
"Lapar, Pak!"
"Pengen tekwan, Pak!"
Berbagai macam jawaban muncul dengan tingkatan dari normal sampai ke yang unik pun ada. Bapak ini memang suka bercanda dan selalu mendengarkan keluh-kesah kami selama dia mengajar kami. Kami juga tahu batasnya. Batas di mana kami harus menjaga sikap. Batas untuk bercanda. Batas segalanya. Semua punya batasan kan?
"Wah, ada banyak sekali jawabannya. Baiklah di pertemuan kali ini kita akan membahas seni musik. Nah, siapa yang suka musik di sini?" ucap pak guru sambil membuka lembaran buku yang ada di tangannya.
Kami yang memang sudah terlebih dahulu membuka bab tersebut sudah mengetahui pelajaran di bab ini tentang musik. Bahkan kami sudah membacanya sampai akhir bab. Kami memang haus akan ilmu. Seakan tak cukup dengan buku yang ada, kami juga selalu tanya sana-sini atau meminjam buku di perpustakaan atau pada orang lain.
"Suka!" Serempak semuanya mengangkat tangan, menandakan suka dengan musik.
Di kelas kami memang suka musik. Bahkan ada beberapa membawa gitar saat jam pelajaran seni. Kami sering bernyanyi dengan diiringi petikan gitar oleh teman sekelas kami yang mahir memainkannya.
"Baiklah. Kalau begitu untuk pemanasan, kita mainkan satu lagu terlebih dahulu. Ayo, siapa berani maju!"
Sontak kami saling lirik beberapa saat, bukannya apa-apa takutnya malah sekelas malah maju semua. Jadilah kami menentukan dengan lirikan siapa yang maju.
"Saya, Pak!"
Teman sekelas kami yang duduk bagian belakang menunjukkan kepercayaan dirinya dengan melangkah mantap menuju depan kelas. Laki-laki dengan sifat pemalu dan pendiam itu kini sudah berada di depan kelas dengan seluruh tatapan kami mengarah padanya. Lagu apa yang akan dia lantunkan. Semoga saja dia tidak gemetar berdiri di sana. Bagaimana aku mengatakannya, sekalipun sudah sering berdiri di hadapan seluruh penghuni kelas ditambah guru tetap saja gemetar akan selalu datang menghampiri.
"Saya akan menyanyikan lagu daerah. Judulnya 'Dek Sangke'," ucapnya dengan di akhiri senyuman tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mungkin (Sudah Diterbitkan)
General FictionTia Arnola, hanya seorang anak SMA biasa. Tidak populer tapi memiliki banyak teman. Mudah bergaul tapi susah mendapatkan teman yang benar-benar dekat. Begitulah adanya. Kegiatan sehari-harinya di sibukan dengan masalah ini dan itu, entah kapan akan...