Jakarta, 26 Juni 2015."Ma, aku mau ketemu sama Ayah..." Suaranya terdengar begitu lirih.
"Nanti ya sayang, tunggu kamu sembuh dulu."
"Aku mau sekarang Ma."
Dari balik celah pintu yang tertutup tidak terlalu rapat, Arkan melihat pemandangan tersebut dengan raut sendu. Selepas ia mendapatkan kabar bahwa Jia telah sadar dari masa kritisnya dan mulai dipindahkan ke kamar perawatan, anak laki-laki berumur dua belas tahun itu langsung memaksa mamanya untuk mengantarkannya ke rumah sakit.
Selama seminggu terakhir ini, Arkan memang jadi gelisah sendiri. Bahkan, Mamanya sedikit kewalahan untuk menenangkannya.
Arkan takut akan terjadi sesuatu hal buruk yang menimpa gadis itu. Arkan takut musuh kesayangannya pergi. Pergi ke tempat yang sangat jauh dan tidak dapat dijangkau. Demi apa pun, ia rela jika harus dijambak sampai pagi oleh gadis itu, asalkan dia baik-baik saja.
"Ma, aku udah boleh masuk belum?" tanya Arkan melirik ke arah ibunya.
Yulia tersenyum. "Sabar ya, tunggu Tante Kirana dulu."
Bibir Arkan mengerucut. Ia lantas duduk di kursi tunggu. Bersabar, menunggu sampai ibunda dari gadis itu keluar untuk memberikan izin.
Detik demi detik berlalu, hingga suara pintu yang terbuka membuatnya menoleh. Arkan segera bangkit. Memasang penuh raut permohonan, hingga Kirana menjadi tidak tega jika harus menyuruh anak laki-laki ini untuk menjenguk anaknya esok hari saja.
"Iya boleh, tapi jangan lama-lama dulu ya, Jianya butuh istirahat," katanya dengan ramah, sembari mengulas senyum di wajah sayunya.
Wajah Arkan sedikit berseri setelah mendengar kalimat dari wanita itu. Tidak ingin membuang waktu lebih lama, dia langsung mendekat, lalu mendudukkan diri di kursi samping ranjang.
Jia melirik sekilas. Wajah yang dulunya menampilkan keceriaan, kini berubah datar, dan tampak begitu pucat. Anak perempuan itu tidak mengucapkan sepatah kata pun, ia terus menatap dinding putih di depan sana dengan pandangan kosong.
Arkan tertegun. Ini kali pertama ia melihat Jia dalam keadaan seperti ini. Begitu hancur, dan tidak memiliki semangat dalam hidupnya.
Arkan ingin membuat wajah itu menjadi tersenyum lagi. Tapi, bagaimana caranya? Apa yang harus ia lakukan? Arkan tidak semahir itu dalam menghibur orang. Ia jauh lebih sering membuat orang lain kesal dibanding tertawa.
Tidak mungkin jika ia akan membuat gadis ini merengut jengkel. Kejadian yang dialaminya lebih besar, bahkan bisa dikatakan tragis bila dibandingkan dengan jatuh saat lomba berlari.
Sepertinya, untuk kali ini dia butuh waktu sendiri.
Seharusnya, tadi Arkan mendengarkan ucapan ibunya untuk menjenguk musuh kesayangannya ini esok hari saja. Mungkin, keadaan Jia akan jauh lebih tenang dibanding saat ini.
Tapi, mau bagaimana lagi. Arkan sudah kelewat khawatir. Wajar saja kan, ketika mendengar kabar jika Jia telah siuman, ia ingin cepat-cepat untuk menemuinya?
"Lo tau nggak sih, padahal pas hari perpisahan gue nungguin lo biar bisa pamer jam tangan baru," ucap Arkan. "Tapi, lo malah kayak gini..." Kalimat selanjutnya terucap begitu pelan.
Arkan memperlihat sebuah paper bag yang memang ia bawa dari rumah. Tangannya bergerak mengambil sebuah benda dari dalam paper bag tersebut. Tidak lama kemudian, muncul sebuah boneka berukuran sedang berbentuk kelinci yang terlihat sangat lucu.
Karena, alasan sebenarnya ia menunggu kehadiran gadis di hadapannya ini bukan untuk sekadar pamer jam tangan. Melainkan ingin memberikan sebuah kenangan, agar Jia tidak begitu mudah untuk melupakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey Jia!
Подростковая литература[ Segera diterbitkan ] Berawal dari Chat mereka kembali bertemu. Jia Indira Lituhayu. Cewek yang dikenalkan seseorang lewat chat pada Arkan. Katanya Jia itu pendiam, kalem, dan baik hati. Namun begitu mengetahui kalau ternyata Jia ini adalah temanny...